23.8.15

Aku Pintar Karena Terstandar: Pandangan Mengenai Standar World Class University (WEBOMETRIC, THES, dan ARWU) versus Tanggung Jawab Pendidikan Tinggi Indonesia

oleh: Emmanuel Kurniawan


STANDAR?

1.       Standar di Sekitar Kita

Tak dipungkiri, kadang memang ada kenikmatan ketika kita berhasil melakukan sesuatu sesuai dengan standar tertentu – apalagi jika standar itu diciptakan oleh “sesuatu” yang rasa-rasanya lebih hebat, lebih “mulia” (bahkan transenden), tidak tersentuh, dan diikuti oleh banyak orang. Kenikmatan itu barangkali merupakan muncul dari perasaan bahwa dengan berhasil mengikuti suatu standar, maka kita seakan-akan “terbaptis”, layak, “menjadi anggota”, atau “menjadi bagian” dari sesuatu yang lebih besar dan mulia tadi. Benar pendapat Althusser, bahwa subjektivikasi oleh Liyan menyebabkan individu mana pun terinterpelasi, dan “menikmati” statusnya sebagai subjek; betapapun tereksploitasinya subjek tersebut (Althusser, 1968).
Sepanjang pengalaman saya bersekolah[1] di bidang teknik, saya merasakan tidak pernah terlepas dari standar. Minimal ada dua hal yang bisa saya petik dari pengalaman tersebut.
Pertama, di tengah “frustrasi” saya mencari referensi, saat itulah pertama kali saya menyadari bahwa apapun yang saya temukan dalam penelitian di laboratorium, selalu merupakan komodifikasi, memiliki nilai ekonomi, sehingga layak untuk dipandang sebagai aset. Bahkan sebagai faktor produksi. Kegiatan studi atau studeren menurut pandangan Mohammad Hatta[2] ternyata bukan hanya demi pengetahuan itu sendiri yang nantinya dapat diakses siapa saja (terutama masyarakat di mana perguruan tinggi berada), namun menjadi komoditi.
Kedua, bagi mahasiswa teknik (saat itu), “etika penelitian” adalah melakukan segala sesuatu sesuai prosedur dan standar. Semua material yang saya gunakan harus sudah ada dan terstandar di Handbook. Ada handbook menurut standar Jepang, Amerika, dan Jerman. Saya harus memilih salah satu untuk menstandarkan jenis material yang saya gunakan. Jurusan tidak pernah mau menerima “material baru” yang tidak ada di dalam handbook. Kala itu SNI (Standar Nasional Indonesia) masih belum berkembang. Dan penggunaan standar dalam pemilihan bahan merupakan suatu hal yang sangat ditekankan. Dasar teori bisa berubah, tetapi material yang digunakan harus sesuai standar. Hal itu cukup memusingkan saya saat itu, karena saya salah satunya menggunakan gerabah buatan kasongan sebagai material. Perlu waktu berbulan-bulan untuk “memodifikasi” gerabah tersebut agar sesuai dengan standar. Namun, kemudian hari saya menyadari bahwa standar-standar tersebut diterapkan mula-mula adalah demi keamanan atau safety. Karena bidang teknik bersinggungan langsung dengan keselamatan kerja, dan hampir semua bidang pekerjaan di teknik memiliki risiko keselamatan fisik yang besar, maka penggunaan standar ini bisa saya maklumi. Dari hal ini, saya belajar bahwa mengikuti standar tidak sepenuhnya salah. Hal itu saya yakini hingga beberapa tahun kemudian.

Uraian di atas menunjukkan pentingnya sebuah standar. Namun, sampai kapan standar itu kemudian berubah menjadi “mahapenting”? Sementara itu, kini, ada banyak sekali standar. Di lingkungan industri kita mengenal ISO 9000, ISO 9001, dan seterusnya. Bahan makanan harus terdaftar dan mengikui standar BPOM-RI dan memperoleh label HALAL dari institusi terkait. Semua peralatan yang kita gunakan selalu mengacu pada standar industri tertentu, baik lokal (SNI) maupun internasional (ISO, ASA, JSI, dsb). Anak-anak sekolah distandarkan melalui UAN dan kurikulum yang seragam. Para petani harus mengikuti standar tertentu sehingga hasil sawahnya layak disebut “organik”. Karya ilmiah pun harus mengikuti standar tertentu (yang kerap tidak berkaitan dengan metode maupun objek penelitiannya) sehingga bisa disebut “karya ilmiah”. Guru harus bersertifikasi sehingga pantas disebut “guru”. Pun sekolah dan perguruan tinggi harus memiliki standar akreditasi tertentu.
Kebanyakan standar memiliki implikasi material; pihak (sebut saja subjek) yang ingin mendapat pengakuan dalam standar tertentu harus melakukan usaha-usaha ekstra untuk mendapat standar tersebut. Jadi ada “usaha” untuk menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar, yakni standar (sebut saja Liyan). “Usaha” tersebut bisa berupa perbaikan-perbaikan yang memang diperlukan demi kebaikan subjek, tetapi bisa juga semata-mata demi kepentingan Liyan. Contohnya, jika Anda adalah seorang petani organik tradisional[3], maka Anda akan kesulitan menjual hasil bumi dengan label “organik” jika lahan pertanian, cara bertani, dan alat yang digunakan tidak diakui menurut standar tertentu oleh lembaga tertentu. Praktik ini juga berlaku ketika sebuah perusahaan ingin mendapatkan standar ISO. Perusahaan tersebut harus mengeluarkan uang sangat besar, baik untuk “biaya administrasi” maupun dalam rangka pelatihan-pelatihan. “Bisnis pelatihan ISO” ini sangat subur di kota besar, dan menjadi tren tersendiri. Permasalahannya adalah bahwa standar tersebut akhirnya memisahkan antara “subjek yang layak” dengan “subjek yang tidak layak”. “subjek yang tidak layak” akan berlomba-lomba mendapatkan pengakuan agar menjadi “subjek yang layak”.
Pengakuan subjek oleh Liyan (menjadi terstandar) ini ibarat anugerah. Sehingga usaha-usaha yang dilakukan untuk menjadi terstandar dianggap layak, walaupun kerap kali nothing to do dengan sesuatu yang substansial dilakukan subjek. Di sinilah terjadi dehumanisasi, yakni ketika ada pihak yang mendominasi dan pihak yang didominasi. Pihak yang didominasi biasanya menjadi objek perahan atau eksploitasi demi keuntungan pihak yang mendominasi.

2.       Standar Perguruan Tinggi Menuju World Class University

Melalui pengantar di atas, melalui paper ini saya ingin membahas standar-standar yang diterapkan bagi perguruan tinggi agar mendapatkan status “terstandar” sebagai WORLD CLASS UNIVERSITY. Hal yang menarik adalah bahwa standar-standar tersebut seakan-akan justru lebih valid ketimbang standar yang dibuat oleh pemerintah, yakni BAN-PT (Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi). Ranking universitas menurut Webometric, misalnya, lebih populer di media dan justru kerap menjadi acuan anak lulusan SMA untuk memilih perguruan tinggi[4]. Selain itu, istilah world class university itu sendiri sebenarnya sudah mengacu pada universitas macam apa yang nantinya dianggap sebagai kampus global.
Biasanya, badan pemberi standar ini akan memublikasikan temuannya secara reguler agar dapat dijadikan acuan. Periode publikasi itu sendiri  ada yang dilakukan setiap 4 tahun (misalnya BAN-PT) maupun hanya 6 bulan (Webometric). Selain BAN-PT, badan-badan pemberi standar biasanya menunjukkan temuannya dalam bentuk ranking, baik berdasarkan regional (misalnya Asia Tenggara atau Asia Pasifik), nasional (berdasar negara), maupun berdasarkan area bidang studi (misalnya bidang seni, ilmu sosial, medis, teknik, dsb). Dari hasil publikasi tersebut, biasanya perguruan tinggi memperoleh manfaat berupa “evaluasi”: apakah rankingnya naik atau turun. Terlepas dari “kebanggaan” atau jiwa “corsa” para civitas akademik perguruan tinggi terkait, kampus manapun akan senang jika mendapat peringkat yang bagus. Buktinya, setiap kali publikasi dari badan standar muncul, maka berita tersebut disebarluaskan di kampus, dan (jika rankingnya baik) maka akan menjadi semacam “prestasi” yang layak untuk dicantumkan di brosur dan baliho demi menjaring lebih banyak lagi mahasiswa  baru.

STANDAR PERGURUAN TINGGI

Sampai saat ini ada beberapa jenis standar untuk meranking sebuah perguruan tinggi. Saya sengaja memilih 3 macam standar perguruan tinggi yang dianggap paling reliable (standar yang justru jarang kita lihat di brosur perguruan tinggi swasta[5]) di dunia untuk dibandingkan dengan acuan-acuan yang terdapat di dalam borang akreditasi BAN-PT. Standar tersebut adalah sebagai berikut (Asih, 2014).

a.         Ranking THES-QS (The Times Higher Education Supplement bekerja sama dengan QS Top Universities)

Ranking THES-QS menarik karena merupakan kerja sama antara lembaga media Times dengan lembaga survey QS Top Universities. Salah satu tujuan lembaga yang berkantor di Inggris ini adalah untuk menyediakan informasi yang akurat bagi calon mahasiswa di seluruh dunia melalui media yang populer, yakni majalah, koran, buku, dan internet. Sebelumnya, kebanyakan ranking universitas dipublikasikan hanya di jurnal-jurnal dan penerbitan yang sifatnya terbatas.
Secara garis besar, THES-QS memiliki 4 kriteria penilaian, yakni:

Kualitas Penelitian (Research Quality)
Kriteria ini memiliki bobot paling tinggi, yakni 60%. Untuk mendapatkan kualitas penelitian, THES-QS melakukan angket secara online yang disebarkan sampai 190.000 akademisi sebagai responden. Para akademisi ini dipilih berdasarkan tingkat kepakaran dan bidang yang digeluti, misalnya Arts & Humanities, Engineering & IT, Life Sciences & BioMedicine, Natural Science, dan Social Science. Tiap responden dimina untuk memilih 30 universitas terbaik di wilayah responden masing-masing dari sudut pandang kepakaran responden.
Selain itu, kualitas penelitian juga diperoleh dari citation per faculty atau jumlah tulisan ilmiah yang dihasilkan oleh universitas tersebut dan jumlah kutipan (citation) atau tulisan ilmiah yang dikutip oleh peneliti lain berdasarkan data dari Essential Science Indicator (ESI).
Baik ESI maupun angket dilakukan secara online. Kelemahan metode ini – menurut saya – adalah validitasnya yang tidak bisa dipertanggungjawabkan jika digunakan untuk mengukur perguruan tinggi di negara berkembang atau terbelakang. Hal ini karena publikasi yang tidak dilakukan secara online (misalnya secara manual dan karya tulis menggunakan mesin ketik untuk dicetak) tidak akan dihitung.

Graduate Employibility (GE)
GE adalah kesiapan lulusan perguruan tinggi untuk dipekerjakan di dunia kerja. Hal ini berkaitan erat dengan kemampuan lulusan dalam beradaptasi dengan dunia baru, perkembangan baru, serta pengetahuan umum. Lebih lanjut, hal ini juga dipengaruhi bagaimana perguruan tinggu memformulasi silabus dan programnya sehingga terjadi link and match antara perguruan tinggi dengan dunia kerja.
GE hanya mendapat bobot 10%, dan didapatkan berdasarkan indikator penilaian Recruiter Review dari survey atas 375 perekrut tenaga kerja.

International Outlook
Kriteria ini juga mendapat jatah 10% bobot penilaian. Kriteria ini diperoleh berdasarkan dua faktor, yakni jumlah fakultas yang menyediakan program internasional dan jumlah mahasiswa internasional.

Teaching Quality
 Kriteria ini menunjukkan kualitas pengajaran. Dengan bobot penilaian 20%, kriteria ini didapatkan dari menghitung rasio jumlah mahasiswa dengan fakultas dan pengajarnya.

b.        ARWU (Academic Ranking of World Universities)

ARWU sebenarnya masih tergolong baru, yakni berdiri sejak 2003. Uniknya, lembaga ini didirikan oleh World Class University and Higher Education Center di bawah Universitas Jiao Tong, Cina. Awalnya, lembaga ini didirikan untuk membantu dan melihat posisi perguruan tinggi-perguruan tinggi di Cina yang menjamur dan kualitasnya berkembang pesat melalui publikasi umum. Namun, lembaga ini justru akhirnya menjadi tolak ukur kualitas pendidikan tinggi di dunia, dan Asia pada khususnya. Publikasi ARWU banyak sekali dikutip dan diikuti oleh perguruan tinggi. Bahkan majalah The Economist pada tahun 2005 berkomentar bahwa ARWU merupakan “ranking tahunan yang paling banyak dijadikan acuan oleh para peneliti di seluruh dunia.” Salah satu faktor yang menyebabkan ARWU populer adalah karena posisinya yang tidak “memihak” pada negara-negara UTARA serta metodologinya yang transparan dan dianggap sebagai “suara global”.
Sebagai perkembangan dari ARWU, maka lembaga ini pada tahun 2009 juga mendirikan Shanghai Ranking Consultancy (SRC), organisasi independen yang melakukan penelitian mengenai perbandingan kualitas universitas secara global yang hasilnya nantinya dapat digunakan oleh pemerintah maupun swasta dalam menentukan strategi pendidikan tinggi.
Kriteria-kriteria dalam penilaian ARWU adalah sebagai berikut.

1.       Alumni
Dalam kriteria ini dihitung jumlah alumni yang telah mendapatkan pernghargaan (misalnya hadiah Nobel dan Field Medal). Semakin terkini penghargaan tersebut diberikan (dihitung dari saat assessment), maka semakin besar skor-nya.
2.       Award
Kriteria ini menunjukkan jumlah staff dan pengajar yang saat assessment dilakukan telah menerima penghargaan. Semakin terkini penghargaan tersebut diberikan, maka semakin besar skor-nya.
3.       HiCi (High Citation)
Jumlah peneliti (staf dan dosen) yang mendapatkan high cited researcher, atau peneliti yang tulisan-tulisannya paling banyak dikutip oleh peneliti lain dalam 20 kategori subjek penelitian  berdasarkan publikasi dari ISIHighlyCited.Com.
4.       PUB (Publication)
Jumlah artikel yang ditulis oleh staf, dosen, dan mahasiswa, yang di-indeks oleh Science Citation Index-Expanded dan Social Science Citation Index (http://www.isiknowledge.com).
5.       TOP
Kategori ini menunjukkan jumlah artikel dari perguruan tinggi bersangkutan yang masuk ke dalam “Top 20%” di jurnal internasional. Penentuan ini berdasarkan impact factor yang dicatat oleh Journal Citation Report (http://isiknowledge.com).
6.       Fund
Kategori ini menunjukkan total anggaran penelitian sebuah perguruan tinggi. Data diperoleh baik dari perguruan tinggi yang bersangkutan maupun dari pihak pemberi donor.

c.         Webometric

Webometric adalah seperangkat alat dan metode yang digunakan untuk mengukur kualitas sebuah perguruan tinggi melalui internet. Atau dengan kata lain, Webometric menunjukkan kualitas perguruan tinggi di dalam dunia maya.
Webometric dilakukan oleh Cybermetrics Lab., sebuah institusi yang dijalankan oleh CINDOC (Centro de Informacion y Documentacion) yang berada di bawah CSIC atau Dewan Riset Nasional Spanyol. Lembaga ini mempublikasikan hasil penelitiannya 6 bulan sekali, yakni di bulan Januari dan Juli serta melingkupi seluruh perguruan tinggi di dunia yang memiliki website.
Perankingan Webometric ini termasuk paling populer di Indonesia. Hal ini karena Webo meranking sampai 5.000 perguruan tinggi (tadinya 7.000 perguruan tinggi), meskipun yang diteliti adalah seluruh perguruan tinggi di dunia. Hal ini menyebabkan peluang perguruan tinggi untuk memasuki ranking ini lebih mudah. Nyatanya, jika perguruan-perguruan tinggi di Indonesia jarang masuk ranking ARWU dan THES-QS, maka untuk tahun 2015 ini saja ada 33 perguruan tinggi negeri dan swasta yang masuk di 5.000 besar Weometric. Selain itu, dinamika perankingan dalam Webometric cukup tinggi. Misalnya, ada perguruan tinggi yang mendapat ranking 6.000. Dengan perbaikan infrastruktur virtual (website, sistem data, dsb)[6], maka di tahun berikutnya perguruan tinggi tersebut bisa melaju sampai ranking 2.000.
Kriteria penilian dalam Webometric adalah sebagai berikut.

1.       Visibility (V)
Kriteria ini diukur dari tautan eksternal unik yang diterima dari situs lain. Data ini diambil dari Yahoo Search, Live Search, dan Exalead.

2.       Size (S)
Jumlah dan kuantitas (dalam kilobita) halaman perguruan tinggi tersebut di internet ketika dicari menggunakan 4 search engine populer, yakni Google, Yahoo!, Live Search, dan Exalead.

3.       Rich Files (R)
Volume file yang ada di situs perguruan tinggi tersebut. Jenis file yang layak diperhitungkan adalah format Adobe Acrobat (pdf), Adobe PostScript (ps), dan Offoce (doc, ppt).

4.       Scholar (Sc)
Data ini diambil dari Google Scholar, yang berisikan semua tulisan, baik berupa artikel lepas, jurnal, makalah atau bahkan bahan kuliah seorang peneliti di dunia maya yang terindeks oleh Google. Peneliti di suatu kampus akan menyummbang skor yang tinggi jika ia rajin menulis di dunia maya atau tulisannya banyak dikutip oleh peneliti lain.

Secara garis besar, kriteria di atas sangat bergantung pada positioning universitas di dunia maya, termasuk di dalamnya akses tergadap dunia maya, koneksi dengan lembaga lain, hubungan dengan lembaga internasional, dan sebagainya. Keempat kriteria Webometric di atas kemudian dihitung dengan menggunakan rumus: Webometric Rank = 4V+2S+R+SC.

TERUS GIMANA?

Dari uraian mengenai sistem perankingan perguruan tinggi di atas, maka dapat dilihat bahwa untuk menjadi World Class University, maka masih ada jalan panjang yang harus ditempuh oleh universitas nasional (baik swasta maupun negeri). Namun, hal itu bukanlah sesuatu yang mustahil. Dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir, ada 2 kampus swasta di Yogyakarta yang pertumbuhannya sangat cepat, yakni UMY (Universitas Muhammadiyah Yogyakarta) dan AMIKOM. Kedua lembaga tersebut memiliki sejarah panjang untuk memajukan dirinya, namun tentu saja nhal itu terbantu dengan tingginya ranking kedua perguruan tinggi tersebut (walaupun bukan THES-QS dan ARWU).
Selain itu, kondisi lain yang perlu diperhatikan adalah adanya Badan Hukum Pendidikan serta diratifikasinya Deklarasi Sedunia Tentang Pendidikan Tinggi Untuk Abad ke-21.  Dalam deklarasi tersebut dapat diringkas bahwa Visi Baru Perguruan Tinggi di Abad ke-21 (UNESCO, 1998) adalah untuk memeratakan kesempatan mengikuti pendidikan tinggi, menyebarkan hasil-hasilnya, sehingga dapat berperan di masyarakat (pasal 3-10). Namun, visi tersebut diwujudkan salah satunya dengan melakukan pendidikan tinggi yang borderless diimbangi dengan peningkatan mutu (pasal 11-17). Saya melihat bahwa maraknya perguruan tinggi “memperbincangkan” dan berusaha “menstandarkan diri” pada ranking internasional tidak terlepas dari peningkatan mutu universitas (dari kacamata “UTARA”) dan bagaimana membuat universitas lebih borderless (dapat diakses siapa saja di seluruh dunia). Namun hal tersebut bukan tanpa masalah.
Beberapa masalah tersebut akan tampak dari beberapa catatan di bawah ini, yang dibuat berdasarkan kriteria perankingan perguruan tinggi sebagai world class university.

a.       Internet di perguruan tinggi Indonesia

Publikasi dan TOP 20% diambil dari situs http://isiknowledge.com, sedangkan High Citation diambil dari http://isihighlycited.com. Sementara itu, semua data yang digunakan Webometric berasal dari internet. Hal ini kemudian menimbulkan pertanyaan yang juga disinggung oleh Philip Altbach (Altbach, 2003), bahwa pengertian “pusat” dan “pinggiran” juga berlaku di dunia internet. Selain perguruan tinggi di negara dunia ketiga menghadapi masalah klasik berupa lemahnya infrastruktur, persayaratan mengenai jurnal, tulisan ilmiah, dan bahkan topik-topik penelitian hampir seluruhnya tergantung pada “pusat”, yakni negara-negara UTARA. Ketidakadilan ini menyebabkan mustahilnya perguruan tinggi di negara dunia ketiga untuk menguasai “rimba medan dunia maya” secara intelektual.
Apalagi ketika melihat bahwa yang diukur oleh ARWU dan Webometric adalah volume, kuantitas, dan seberapa sering penelitian tersebut dikutip. Hal ini hanya membuktikan bahwa penelitian tersebut memang populer, dan dibutuhkan banyak orang. Pertanyaannya adalah apakah dibutuhkan banyak orang (dalam hal ini banyak peneliti) sebanding dengan peran sertanya di masyarakat? Karena ketika suatu topik memiliki nilai ekonomi yang tinggi, maka topik tersebut akan populer, dan akan banyak peneliti yang meneliti topik yang sama, serta tinggilah nilai citation index. Namun, apakah memiliki nilai ekonomi tinggi selalu memihak pada masyarakat? Di dunia yang dikuasai oleh sistem ekonomi kapitalistik, maka hal itu menjadi terdengar naif.      

b.      International Outlook

Selain internet, penting untuk diamati bahwa international outlook dan kesempatan bekerja lulusan universitas justru dijadikan acuan oleh THES-QS. Sebagai lembaga yang didirikan di negara UTARA (Inggris), maka di satu sisi THES-QS ingin memenuhi kebutuhan nyata mahasiswa untuk bekerja (dan begitu  pula harapan orang tuanya), namun di sisi lain merasa bahwa internasionalisme meruapakan syarat sebuah kualitas. Barangkali tidaklah penting bagi universitas di Inggris untuk membuka program internasional (yang artinya berbahasa Inggris), karena setiap program selalu internasional. Berbeda jika kampus di pelosok Yogyakarta ingin membuka program internasional, maka harus selalu mengacu pada program studi di Inggris.
Dengan kata lain, barangkali menurut THES QS, satu-satunya negara yang tidak memiliki program internasional (bukan secara formal atau administratif belaka) justru adalah Inggris, karena – sekali lagi – setiap program di Inggris sudah internasional. Hal ini bisa dibaca dengan menggunakan wacana poskolonial di mana internasionalisasi atau universalisme masih tampak di dalam pemberian ranking. Tentu saja Altbach juga mengkritisi hal ini, karena standar semacam ini justru akan menyebabkan drain brain. Peneliti akan memiliki stereotype bahwa kampus berkualitas adalah yang internasional. Sementara kampus internasional terbaik ya hanya ada di “internasional”: suatu lokasi imajiner yang kemudian diwujudkan menjadi “BARAT” atau “UTARA”.
Jika melihat kriteria THES-QS mengenai employibility lulusan perguruan tinggi, maka memang semakin nyata bahwa standar tersebut tidak dapat diterapkan di negara seperti Indonesia. karena tentu saja standar job recruiter akan berbeda di tiap negara dan tiap budaya.
Melihat hal ini, masuk akal jika THES-QS kurang populer di Indonesia, meskipun sebenarnya menurut saya termasuk paling konvensional dalam membuat ranking penelitian suatu perguruan tinggi. Sayangnya, hanya bisa dilakukan di negara-negara tertentu dengan prakondisi tertentu pula (misalnya komunikasi yang lancar, negara dalam keadaan damai, dan infrastruktur komunikasi yang lancar).

c.       Kasus khusus Webometric

Pada akhir tahun 2000-an, seiring dengan masuknya universitas-universitas Indonesia ke dalam ranking webometric, maka terjadi pro kontra di kalangan akademisi. Pihak yan pro merasa bahwa keterwakilan perguruan tinggi di internet dapat menjadi tolak ukur “geliat intelektual” civitas akademika di dalamnya. Hal ini didukung oleh berbagai hasil publikasi penelitian, logika bahwa “mereka yang dikutip berarti lebih pintar”, dan sebagainya.
Pihak yang kontra dengan webometric menganggap bahwa tidaklah mungkin mengukur kualitas perguruan tinggi hanya dari penampilannya di website. Webometric melalui situs resminya berulang kali menegaskan bahwa yang diukur bukanlah website ataupun desain website sebuah kampus, melainkn lalu lintas data yang melibatkan kamput tersebut (Webometrics). Webometric juga mewanti-wanti timbulnya kecurangan karena modifikasi  tag dalam search engine, dan manipulasi-manipulasi lainnya. Memang, tiap saat webometric mengeluarkan semacam catatan bahawa di kampus tertentu ada hal-hal yang tidak diukur karena – misalnya – memiliki lebih dari satu domain website.
Menariknya, banyak kampus swasta yang berusaha mendapat ranking di webometrics. Bahkan ITB (Institut Teknologi Bandung) sampai mengadakan pelatihan (internal dan eksternal) mengenai cara-cara mendapatkan ranking webometrics[7]. Jika hal ini dibawa ke ranah hiperealitas, maka bisa jadi kualitas yang muncul bukanlah kualitas sebenarnya, tetapi hanya popularitas di dunia maya. Karena acuan bagi para calon mahasiswa baru di Indonesia adalah webometrics.

d.      Menengok Tri Dharma Perguruan Tinggi

P. Swantoro (Swantoro, 1964) mengemukakan bahwa perguruan tinggi memiliki tridharma. Tridharma atau tanggung jawab perguruan tinggi bagi masyarakat, pertama-tama adalah pengabdian kepada masyarakat. Kedua adalah pengajaran dan pendidikan, ketiga adalah penelitian.
Dengan meihat ke-3 ranking demi World Class University, maka wacana pengabdian masyarakat justru tidak ada. Bahkan tidak disinggung sama sekali. Barangkali yang dimaksud pegabdian masyarakat dalam rankin internasional adalah memberi kontribusi intelektual bagi rekan-rekan peneliti. Hal ini jelas berbeda dengan anggapan Swantoro dan M. Hatta bahwasanya berkontiribusi pada masyarakat adalah memberi sumbangan secara umum. Dengan kata lain, perguruan tinggi ada (atau para intelektual ada) bukanlah demi melanggengkan keberadaan the ruling class, melainkan terbuka bagi siapa saja. Pengabdian masyarakat justru seharusnya menjadi titiuk balik pendidikan terkini guna bersama-sama menjadi bagian dalam masyarakat, serta memihak kepentingan masyarakat secara umum.

USULAN DAN CATATAN PENUTUP

Dari uraian-uraian dan catatan di atas, saya sedikit menyimpulkan bahwa
1.       Ranking untuk mencapai world class university bukanlah metode yang tepat untuk digunakan di Indonesia, karena lemah di dalam metode serta berisiko tinggi dalam artian dapat menyebabkan dehumanisasi perguruan tinggi yang secara organik ada di Indonesia.
2.       Beberapa kategori di dalam sistem perankingan tersebut bisa jadi merupakan distorsi dari penerapan Visi Baru Perguruan Tinggi di Abad ke-21 (UNESCO, 1998) yang secara erat berusaha mengabdi pada kepentingan pasar.
3.       Sikap calon mahasiswa dan civitas akademika perguruan tinggi di Indonesia dalam menghadapi sistem perankingan internasional masih terpecah, dan hal ini mungkin dapat dianalisis lebih lanjut melalui neo-marxis dan poskolonial.

Melihat hal tersebut, maka saya memiliki dua usulan yang bisa saling melengkapi maupun saling menggantikan. Pertama, perlunya wacana perankingan baru selain BAN-PT sekarang atau memodifikasi BAN-PT sehingga dalam membuat ranking (atau lebih tepatnya evaluasi, bukan untuk standarisasi) meletakkan tujuan pendidikan tinggi di porsi yang paling besar, dan tidak terjerumus dalam new managerialism yang “neurotik-obsesif”, yakni “mengikuti standar hanya demi standar itu sendiri” betapapun mahal dan susah payahnya. Modifikasi BAN-PT inilah yang saya kira menjadi usulan solusi paling memungkinkan untuk diwujudkan.
Kedua adalah mempromosikan bahwa “keuntungan perguruan tinggi” bukanlah terletak pada ketika perguruan tinggi tersebut memasuki pasar (atau menghasilkan “produk” berupa lulusan yang high valuable). Keuntungan ini juga bukan terletak pada minat besarnya calon mahasiswa untuk mendaftar dan membayar, dan pula bukan terletak pada nilai kerja sama yang dilakukan dengan pihak industri. Bahkan, lebih intangible lagi, keuntungan perguruan tinggi juga bukan terletak pada award, sambutan baik, dan pujian-pujian dari seluruh dunia.
Menurut saya, keuntungan (dan satu-satunya alasan sehingga sebuah perguruan tinggi layak didirikan) adalah bahwasanya perguruan tinggi tersebut akan “memperadabkan” masyarakat di sekitarnya. Peradaban yang humanis ini berarti pula memandirikan dan memerdekakan. Kesejahteraan adalah kemerdekaan dari memutuskan nasib sendiri. Dan jika hal itu terwujud, maka perguruan tinggi menjadi “kekayaan sosial” masyarakat di sekitarnya, demikian pula sebaliknya.
Demikian paper saya, semoga tulisan ini dapat memberi sumbangan pemikiran dalam studi pendidikan kritis, dalam hal ini Kajian Universitas.

Yogyakarta, 19 Juni 2015

Daftar Pustaka 

Altbach, P. G. (2003). The Decline of the Guru: The ecademic profession in developing and middle income countries. New York: Palgrave Macmillan.
Althusser, L. (1968). Ideology and Ideological State Aparatuses. In L. Althusser, Lenin and Philosophy and Other Essays (1971) (B. Brewster, Trans.). New York: Monthly Review Press.
Asih. (2014, March 4). Tolak Ukur Kualitas Perguruan Tinggu. Retrieved June 17, 2015, from www.asih.staff.telkomuniversity.ac.id: http://asih.staff.telkomuniversity.ac.id/2014/03/04/tolak-ukur-kualitas-perguruan-tinggi
Hatta, M. (1957). Tanggung Jawab Moral Kaum Intelegensia. In A. Mahasin, & I. Natsir, Cendekiawan dan Politik (1983). Jakarta: LP3ES.
Swantoro, P. (1964, April). Tugas Perguruan Tinggi. BASIS .
UNESCO. (1998). Deklarasi Sedunia tentang Pendidikan Tinggi untuk Abad ke-21: Visi dan aksi serta acuan prioritas tindakan bagi perubahan dan pengembangan pendidikan tinggi. In A. Supratiknya, & S. Sunardi (Eds.), Pendidikan Tinggi dalam Abad Kedua Puluh Satu (2005). Yogyakarta: Sekretarian Mission and Identity.
Webometrics. (n.d.). Objetives. Retrieved June 17, 2015, from www.webometrics.info: http://www.webometrics.info/en/objetives




[1] Yakni selama 3 tahun menjadi murid TK, 12 tahun menjadi siswa, 8 tahun menjadi mahasiswa S-1 dan sekitar 2 tahun menjadi mahasiswa S-2.
[2] Hatta membedakan leren (atau learning) dengan studeren (atau study) dalam rangka menjelaskan tanggung jawab moral intelegensia perguruan tinggi (Hatta, 1957)
[3] Yaitu petani yang tidak pernah menggunakan bahan-bahan kimia buatan pabrik (misal pupuk urea, bahan pembasmi hama, dsb) sehingga aman dikonsumsi. Kenyataannya, petani yang hidup di pelosok daerah justru mempraktikkan pertanian organik, misalnya Orang Samin. Namun, “ke-organik-an” pertanian organik tradisional harus diakui terlebih dulu oleh lembaga-lembaga pemberi sertifikat “bahan pangan organik”. Masalahnya, lembaga-lembaga tersebut justru berasal dari negara-negara maju yang pertaniannya seakan-akan “maju” lantaran banyak menggunakan bahan-bahan kimia (misalnya Amerika). Selain itu, petani harus membayar sejumlah uang yang sangat besar (kalau tidak salah pada tahyn 2013 saja seorang petani mengeluarkan lebih dari 60 juta rupiah untuk sertifikat yang berlaku 5 tahun, belum termasuk menyediakan akomodasi dan “uang saku” bagi assessor yang mengobservasi lahan pertanian miliknya) jika ingin hasil pertaniannya diberi label “organik”.
[4] Hal ini terungkap di berbagai artikel di internet mengenai ranking perguruan tinggi. Kebanyakan mengacu pada Webometric.
[5] Hal ini mungkin perguruan tinggi swasta tersebut mendapat ranking bawah, sehingga “kurang memikat” dari segi iklan.
[6] Infrastruktur seperti ini relatif membutuhkan waktu dan sumber daya yang lebih sedikit ketimbang – misalnya – merekrut dosen baru, memperbaiki kurikulum, dsb.
[7] Pada 16 April 2009, ITB mengadakan pelatihan bertajuk “Membangun Website PT Berstandar Webometrics”. 

No comments:

Post a Comment