26.8.15

Standarisasi dan Akreditasi dalam Pendidikan Tinggi

Oleh: Anne Shakka


Sabtu, 11 April 2015 adalah salah satu hari bersejarah di Program Pascasarjana Ilmu Religi dan Budaya (IRB) Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Hari itu IRB mendapat kunjungan dari dua orang assesor dari Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT). Seorang dari Universitas Hasannudin, Makasar; dan seorang lagi dari Universitas Indonesia Jakarta. Kunjungan yang menghebohkan seluruh fakultas dari hari Rabu, hari di mana pemberitahuan akan visitasi tersebut datang.
Tiga hari sejak hari pemberitahuan itu datang, IRB jadi penuh dengan keriuhan. Semua mahasiswa, dosen, dan karyawan berbondong-bondong mempersiapkan diri untuk kunjungan tersebut. Mulai dari memeriksa ulang borang akreditasi yang sudah dibuat pada bulan November 2014, menata kelas yang akan digunakan untuk pertemuan, mempersiapkan berkas-berkas administrasi dan bukti-bukti yang dibutuhakan, sampai mencari hotel dan mobil untuk mobilitas kedua assesor yang akan datang tersebut.

Ketika hari Sabtu datang, suasana IRB yang biasanya banyak tawa tiba-tiba menjadi terasa begitu terburu-buru dan tegang. Saya ingat ketika acara pembahasan dilakukan dan mahasiswa banyak yang menunggu di luar seakan-akan ada orang yang melahirkan di dalam kelas. Begitu bapak dosen keluar dari kelas rasanya ingin saya tanyai, “Lelaki atau perempuan, Pak?” Romo dan Mbak-mbak staf yang biasanya bisa diajak becanda kapan saja tiba-tiba menjadi ‘senggol bacok’ hari itu.
Hingga akhirnya malam datang dan evaluasi hari ini berlalu juga. Ada beberapa poin dari evaluasi yang dengan sengaja saya catat malam itu ketika acara penutupan, yaitu tidak adanya organisasi alumni, tidak jelasnya visi misi, tidak adanya pemasukan untuk fakultas selain dari mahasiswa, kurang terlibatnya mahasiswa dalam penelitian dosen, dan waktu kelulusan.[1] Berikut akan saya jelaskan lebih lanjut beberapa poin-poin di atas seperti yang dijelaskan oleh Bapak Assesor.
Pada bagian alumni, diharapkan adanya suatu organisasi alumni yang jelas dengan struktur kepengurusan yang jelas. Hal ini diperlukan karena organisasi alumni merupakan jembatan antara perguruan tinggi dan masyarakat. Dari sini diharapkan akan dapat dilihat peran dari alumni dalam masyarakat, baik itu peran secara akademis maupun nonakademis dan terukur secara kuantitatif. Berarti dapat diukur jumlah perannya. Peran seperti apakah yang bisa dihitung secara kuantitatif? Hal ini saya pertanyakan karena di siang hari Sabtu tersebut sudah terdapat perbedaan persepsi antara mahasiswa dengan asessor prihal prestasi.
Begini kesaksian dari mahasiswa yang mengikuti dialog tersebut:[2]

Bapak Assesor yang sedang berjalan-jalan di perpustakaan itu bertanya, apakah ada dari mahasiswa IRB yang berprestasi. Lalu teman-teman mahasiswa menjelaskan bahwa ada anak IRB yang menjadi kurator di acara Bienalle Yogyakarta, ada yang berangkat untuk penelitian di Nigeria, ada yang mendapatkan beasiswa untuk riset di Singapura. Lalu bapak tersebut bertanya lagi, “Bukan yang seperti itu, ada nggak yang menang lomba begitu, satu saja.”

Begitu cerita dari beberapa teman yang mengikuti perjalanan dan dialog.
Semua kehebohan yang saya ceritakan di atas adalah hal-hal yang terjadi demi suatu akreditasi. Bagaimana suatu universitas berusaha memenuhi standar agar mendapat pengakuan bahwa fakultasnya itu sesuai standar. Tidak peduli bagaimana budaya fakultas dan universitas sebelumnya, tidak peduli sumber daya yang dimiliki, pokoknya harus sesuai standar. Berikut akan saya ulas lebih lanjut mengenai akreditasi dan standarisasi pada pendidikan tinggi dari sudut pandang Bank Dunia dan Undang-undang.

Wajah Pendidikan Tinggi Indonesia
Pendidikan tinggi yang ada saat ini di Indonesia maupun yang ada di seluruh dunia ini tidak bisa terlepas dari pengaruh proses globalisasi yang terjadi saat ini. Dunia yang semakin menyempit karena perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan transportasi. Saat ini seseorang dapat berkomunikasi dengan orang lain dari belahan dunia lain hanya dalam hitungan detik, sesuatu yang tidak mungkin terjadi setengah abad yang lalu. Hanya dalam satu generasi, dunia sudah berubah dengan begitu cepat dan begitu hebatnya. Dan kita harus menyesuaikan diri dengan semua perubahan itu, termasuk wajah pendidikan tinggi di seluruh dunia.
Globalisasi dan integrasi ekonomi yang ada saat ini membuat batasan-batasan seperti batasan wilayah dan kebangsaan semakin kabur dan bahkan menghilang. Hal ini dapat terlihat dari meningkatnya tren orang yang berkuliah atau belajar di luar negeri, ataupun menjadi pekerja di negara asing. Migrasi atau perpindahan ini memiliki kecenderungan orang-orang dari negara berkembang atau dari negara dunia ketiga yang mencari pendidikan atau kondisi pekerjaan yang lebih baik di negara maju atau negara industri di Eropa, Amerika, atau Australia. Sangat sedikit yang terjadi dengan kecenderungan yang sebaliknya. Tidak banyak pelajar dari negara maju yang belajar ke negara berkembang, jika ada sebagian besar berupa kursus singkat kebudayaan. Hal ini berbeda dengan kecenderungan orang belajar di negara maju untuk mendapatkan pendidikan lanjutan yang baik, biasanya setingkat master, doktoral atau post-doktoral (Altbach, 2003: 7).


Figure 1. Jumlah pelajar yang bersekolah di luar negeri berdasarkan daerah tujuan pada tahun 2000 dan 2007[3]
Perubahan dan dinamika yang ada ini, mau tidak mau menuntut pendidikan tinggi untuk menyesuaikan dirinya. Pendidikan harus dapat mengejar perkembangan teknologi dan perubahan yang begitu cepat ini jika dirinya masih mau menjalankan perannya sebagai lembaga yang “menghasilkan” manusia yang berkualitas, berkualitas sesuai dengan zamannya tentu saja. Dalam penjelasannya mengenai perubahan pendidikan tinggi yang ada di dunia saat ini, Altbach menjelaskan ada empat faktor besar yang berpengaruh mengubah wajah pendidikan dunia saat ini yaitu masifikasi, privatisasi, akuntabilisat, dan marketisasi (2003: 2).
Perubahan-perubahan tersebut terjadi tidak terlepas dari perkembangan teknologi dan industri saat ini. Salah satu faktor yang sangat berpengaruh adalah meningkatnya kebutuhan tenaga kerja yang berkualifikasi pendidikan tinggi dan semakin menurunnya permintaan akan tenaga kerja dengan kualifikasi pendidikan yang lebih rendah. Hal ini kemudian menuntut orang-orang untuk menempuh pendidikan tinggi demi mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Peningkatan ini juga yang kemudian menuntut pendidikan tinggi untuk melakukan masifikasi dalam institusinya. Masifikasi ini juga didorong oleh berbagai program dari Bank Dunia seperti Millenium Development Goals (MDGs) yang mendorong meningkatnya lulusan pendidikan tinggi. Bagaimanapun juga, saat ini pendidikan tinggi masih dianggap sebagai faktor penting dalam menjaga kestabilan ekonomi, politik, dan dianggap dapat menopang demokrasi dalam suatu negara.
Perkembangan industri yang ada saat ini kemudian membawa dampaknya pada adanya permintaan akan akuntabilitas dan standarisasi pada dunia pendidikan. Hal ini juga tidak dapat dilepaskan dari lembaga-lembaga terkait yang bekerja sama dengan universitas itu sendiri. Salah satunya universitas membutuhkan lembaga lain baik itu pemerintah ataupun swasta untuk membantu pembiayaan bagi dirinya. Hal ini membuat universitas harus memiliki akuntabilitas dan transparansi dalam pengelolaan lembaganya. Akuntabilitas ini untuk menjamin keterpercayaan lembaga terkait dengan lembaga lain.
Selain itu, adanya standarisasi juga dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan akan tenaga kerja yang berkualitas. Dengan adanya standar yang diakui bersama, perusahaan akan bisa mengetahui bagaimana kualitas dari lulusan yang akan diterimanya dalam perusahaan. Standar ini juga dibutuhkan jika seseorang ingin melakukan studi lanjut di negara lain atau di institusi lain. Adanya standar ini seakan memberi jaminan bahwa lulusan tersebut mampu untuk bekerja atau melanjutkan pendidikannya. Hal ini bisa dengan mudah kita lihat pada persyaratan bekerja atau persyaratan masuk universitas di mana mereka hanya mau menerima lulusan dari universitas dengan akreditasi tertentu. Lembaga atau perusahaan akan mempertimbangkan lagi jika orang tersebut berasal dari lembaga yang tidak terakreditasi.


Standarisasi Pendidikan Tinggi Indonesia dan Dunia
Dari beberapa sudut pandang, standarisasi memang bermanfaat untuk menjamin kualitas suatu lembaga penyelenggara pendidikan tinggi. Standar yang juga diterapkan bagi tenaga pengajar dan siswa hasil belajar dari lembaga tersebut. Dengan institusi yang baik sesuai dengan standar yang ditetapkan maka “dianggap” hasil dari institusi tersebut juga memiliki standar yang baik. Bagaimana cara mengukurnya? Salah satunya adalah dengan melihat seberapa cepat lulusan dari institusi tersebut diterima bekerja, lalu bagaimana tanggapan dari pengguna alumni tersebut.[4] Dari situ “dianggap”—lagi—bahwa seorang yang cepat diterima bekerja dan disenangi oleh pengguna menjamin lulusan yang berkualitas. Namun sebenarnya, apakah pendidikan itu sendiri? Apakah hanya sekadar mencetak manusia yang cepat terserap di dunia kerja dan disukai oleh orang yang mempekerjakannya?
Undang-undang nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi juga mengatur mengenai penjaminan mutu dari pendidikan tinggi itu sendiri. Pada Bab III undang-undang tersebut mengatur mengenai penjaminan mutu dalam pendidikan tinggi. Bagian tersebut juga mengatur mengenai sistem penjaminan mutu, standar pendidikan tinggi, akreditasi, Pangkalan data pendidikan tinggi, dan menegenai lembaga layanan pendidikan tinggi.
Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa penjaminan mutu pada pendidikan tinggi ini digunakan untuk melihat apakah suatu lembaga pendidikan tinggi itu sesuai dengan standar yang ditetapkan atau tidak. Pendidikan tinggi yang bermutu adalah pendidikan tinggi yang mampu mengembangkan potensinya, menghasilkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berguna bagi masyarakat (Pasal 52 ayat 1). Sedangkan penjaminan mutu ini sendiri diadakan untuk menjamin adanya pendidikan bermutu baik yang bisa diakses oleh masyarakat. Secara lebih mendetail saya akan melihat dari Borang Akreditasi mengenai indikasi apa saja yang diukur untuk menentukan apah lembaga penyelenggara pendidikan tersebut berkualitas.
Dalam Borang mengenai akreditasi, terdapat tujuh standar yang harus dipenuhi oleh suatu lembaga pendidikan yaitu:
Standar 1: Visi, Misi, Tujuan dan Sasaran, serta Strategi Pencapaian               
Standar 2: Tata Pamong, Kepemimpinan, Sistem Pengelolaan, dan Penjaminan Mutu
Standar 3: Mahasiswa dan Lulusan
Standar 4: Sumber Daya Manusia
Standar 5: Kurikulum, Pembelajaran, dan Suasana Akademik
Standar 6: Pembiayaan, Sarana dan Prasarana, serta Sistem Informasi
Standar 7: Penelitian, Pelayanan/Pengabdian kepada Masyarakat, dan Kerjasama
Hal-hal tersebut yang harus dipenuhi oleh universitas untuk melakukan penjaminan mutu bagi lembaganya. Proses yang saya alami dalam akreditasi ini sebagian besar merupakan suatu proses administratif yang sangat merepotkan karena melibatkan data dalam jumlah yang sangat besar. Proses pemeriksaan yang dilakukan juga sebatas memeriksa kelengkapan dalam data yang disediakan dan dipamerkan. Pemeriksaan lain yang dilakukan adalah wawancara kepada dosen, mahasiswa, alumni, dan pengguna atau orang yang mempekerjakan alumni. Dan dari situ akreditasi akan ditentukan, sesederhana itu prosesnya. Ada kerja keras di baliknya dan proses belajar mengajar yang sesungguhnya yang tidak dilihat oleh Badan Akreditasi. Mungkin karena tidak ada sumber daya yang cukup untuk melihat hal tersebut, mungkin juga karena kualitas manusia yang sebenarnya juga tidak dapat diukur begitu saja dengan parameter tertentu.
Di sisi lain, akreditasi ini malahan mengurangi kualitas dosen dalam mengajar. Akreditasi dan pekerjaan administrasi yang sangat banyak ini mau tidak mau juga akan menyita waktu dan pikiran dosen, dan beberapa mahasiswa juga. Lebih lanjut Altcbah juga menjelaskan bahwa akuntabilitas yang dituntut dari sebuah lembaga pendidikan ini malah membatasi otonomi dari para akademisi dengan aturan-aturan yang ketat dan pekerjaan administratif yang sangat banyak ini juga malah meruntuhkan daya tarik pekerjaan akademis (2003: 2).


Pendidikan atau Penyingkiran
Tidak bisa dipungkiri bahwa sedikit banyak pendidikan sudah menjadi suatu komoditas ekonomi, dan sebagai suatu komoditas maka pendidikan juga dipengaruhi oleh sistem kerja pasar yaitu permintaan dan pemenuhan kebutuhan akan permintaan tersebut. Bagaimana menentukan siapa saja siswa yang dapat diterima dalam suatu perguruan tinggi ketika jumlah pendaftar jauh lebih tinggi dari kapasitas yang mampu ditampung? Salah satu hal yang bisa menjawab hal tersebut ya dengan dilakukan standarisasi. Universitas akan menentukan siapa saja yang berhak untuk menempuh pendidikan di lembaga miliknya berdasarkan standar yang sudah dia tetapkan. Standar itu bisa berupa kemampuan intelektual, kemampuan ekonomi, agama, suku, jenis kelamin, apa saja lah yang menjadi nilai atau ideologi yang dianut oleh universitas. Sekarang tinggal apakah proses standarisasi yang dilakukan itu adil dan memberikan kesempatan yang sama bagi semua orang.
Standar diterapkan ketika ada asumsi adanya kemampuan yang sama pada semua pihak untuk dapat mencapai standar tersebut. Tetapi seperti yang dikatakan oleh Bourdieu dalam buku tulisan Haryatmoko (2010), bahwa dalam pendidikan yang dikatakan netral dan setara itu dalam kenyataannya tidak demikian adanya, para peserta didik tersebut tidak memiliki kesempatan yang sama. Keberhasilan dalam suatu pendidikan tersbut hanya mengacu pada dua kriteria, yaitu proses belajar mengajar dan hasilnya yang diukur dari kompetensi. Sedangkan latar belakang sosial dari peserta pendidikan tersebut sama sekali tidak diperhitungkan (2010: 174).
Altbach (2003) juga menjelaskan akan adanya disparitas tersebut dalam sistem pendidikan dunia. Adanya perbedaan infrastruktur dan sumber daya menjadi masalah yang menghantui pendidikan dunia saat ini. Perbedaan-perbedaan ini yang coba diatasi oleh pemerintah dari masing-masing negara dengan bantuan lembaga-lembaga keuangan dunia. Pertanyaannya sekarang, jika misalnya Indonesia sudah bisa mendapatkan infrastruktur yang sama dengan yang ada di lembaga pendidikan di barat, apakah kita juga akan menjadi benar-benar setara dan sesuai standar?
Tampaknya tidak semudah itu. Dalam penjelasannya mengenai adanya perbedaan mengenai pusat dan daerah, Altbach mengungkapkan bahwa perbedaan itu tidak hanya mengenai permasalahan sumber daya yang terbatas di negara-negara berkembang. Ada suatu relasi kekuasaan yang tidak bisa disangkal terjadi di dunia pendidikan di dunia ini. Utara, dalam hal ini adalah Amerika dan Eropa Barat, selalu menjadi pusat yang menentukan standar dari pendidikan di dunia ini. Standar ini juga mencakup topik-topik apa yang menarik untuk diteliti dan diulas dalam jurnal, sampai pada standar penulisan ilmiah yang selalu mengacu pada standar yang diterapkan di negara-negara tersebut. Belum lagi adanya permasalahan bahasa di mana dunia pendidikan yang didominasi oleh bahasa Inggeris yang secara langsung mendiskriminsi pada akademisi yang berasal dari negara-negara yang tidak berbahasa Inggris. Disparitas bahasa ini juga menyulitkan untuk mengakses sumber pengetahuan, melakukan penulisan, dan mendapatkan pengakuan internasional (2003: 3-5). Hal ini merupakan standar yang lain lagi.
Dari sini dapat kita lihat bahwa adanya standar itu di satu sisi untuk menjamin kualitas dari pendidikan tinggi itu sendiri tetapi di sisi lain, standarisasi yang ada ini juga merupakan suatu penyingkiran bagi orang-orang atau lembaga yang dianggap tidak memenuhi standar. Lalu bagaimana dengan yang tidak memenuhi standar tersebut? Apakah tidak berhak untuk mendapatkan pendidikan dan penghidupan yang lebih layak? Tampaknya standar ini juga yang menyebabkan adanya praktik jasa pembuatan skripsi dan jual beli ijazah. Seorang baru akan mendapatkan pekerjaan atau jabatan dengan posisi tertentu dengan memiliki kualifikasi pendidikan tertentu. Dan bagi yang ingin mudah, ada lembaga-lembaga yang menyediakan jasa-jasa tersebut agar para konsumennya bisa mendapatkan posisi atau ijazah yang dibutuhkan.
Lalu apakah standar itu benar-benar menjamin kualitas? Rasanya paling mudah kembali pada IRB. IRB sampai tulisan ini dibuat masih berstatus terakreditasi B dari BAN-PT, dan di luar sana ada universitas lain dengan akreditasi B juga yang melakukan praktik jasa pembuatan tugas akhir bagi para mahasiswanya. Dengan kerja keras yang sudah saya lakukan sebagai mahasiswa di sini rasanya saya tidak bisa menerima begitu saja adanya penyamaan kualitas lulusan hanya dari angka akreditasi yang diberikan oleh Badan Akreditasi tersebut.

Pada Undang-undang nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, pada Bab 1 menyatakan bahwa:
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.

Undang-undang dasar negara Indoensia juga menjamin adanya akses yang sama akan pendidikan bagi seluruh rakyat Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa. Driyarkara juga menyatakan bahwa pendidikan adalah bagaimana seseorang memasukan manusia muda dalam masyarakat di mana dia berada. Pendidikan tidak hanya terkait dengan apakah seseorang mampu menjadi pekerja yang baik atau tidak nantinya setelah lulus. Pendidikan tidak hanya dilihat dari apakah seseorang melek gadget atau tidak. Pendidikan selalu terkait tentang bagaimana pembentukan seorang manusia menjadi manusia yang seutuhnya. Sayangnya, manusia itu berbeda-beda, baik dalam hal intelektual, bakat, maupun minat. Ada sebuah idiom yang terkenal, jika kecerdasan itu diukur dari kemampuan memanjat pohon, maka ikan akan selamanya dianggap bodoh.
Jadi, apakah sebagai lembaga yang menyadari adanya ketidakberesan dalam sistem standarisasi yang ada di Indonesia ini pada khususnya, sebagai lembaga yang mengajarkan pendidikan kritis pada para mahasiswanya, sebagai lembaga yang mengajarkan untuk berdiri pada kemanusiaan dan membela yang tertindas, apakah lembaga ini mampu memberikan kesempatan belajar yang memanusiakan bagi para peserta didiknya di atas gengsi akreditasi? Apakah lembaga ini benar-benar mampu memberikan kepada kaisar apa yang menjadi milik kaisar tanpa mengorbankan hak peserta didiknya untuk berkembang dan menjadi manusia yang seutuhnya? Apakah lembaga ini juga mampu memberikan kesempatan belajar yang sama bagi seluruh siswanya tanpa memberikan standar yang lain lagi? Yang bagi saya itu hanya akan menjadi double colonization bagi mahasiswa yang bersangkutan. Saya rasa itu jauh lebih berarti dari pada sekadar huruf yang nanti akan dikeluarkan oleh BAN-PT.


Daftar Pustaka

Altbach, P. G. (2003). The Decline of the Guru. New York: Palgrave Macmillan
Altbach, P.G.; Reisberg, L. & Rumbley, L. E. (2009). Trends in Global Higher Education: Tracking in Academic Revolution (A Report Prepared for the UNESCO 2009 World Conference on Higher Education). Paris: UNESCO
Haryatmoko. (2010). Dominasi Penuh Muslihat: Akar Kekerasan dan Diskriminasi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Jones, P. W. (1992). World Bank Financing of Education: Lending, Learning and Development. London: Routledge
Borang Akreditasi Program Pascasarjana Ilmu Religi dan Budaya (tidak dipublikasikan)
Constructing Knowledge Societies: New Challenges for Tertiary Education. (2002). Washington, D. C.: The World Bank
Undang-undang nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi




[1] Catatan pribadi pada penutupan akreditasi IRB di Ruang Palma, Sabtu, 11 April 2015
[2] Cerita dan rerasan beberapa teman mahasiswa yang mengikuti jalan-jalan ke perpustakaan
[3] Gambar diambil dari Trends in Global Higher Education: Tracking an Academic Revolution (2009)
[4] Standar 3, Borang Akreditasi mengenai Mahasiswa dan Lulusan 

No comments:

Post a Comment