Pengantar
Kakak saya cukup berpengaruh pada
keputusan saya untuk kuliah dengan cerita-cerita seputaran dinamika kampus yang
sedang dia jalani waktu itu. Sejak tahun 2002 saya sudah mendapatkan kesempatan
untuk mengenyam atmosfir pendidikan tinggi di Universitas Sanata Dharma. Ketika
sambil lalu saya perhatikan dinamika mahasiswa di Universitas Sanata Dharma,
ada beberapa fenomena yang menurut saya menarik untuk diperhatikan. Mahasiswa
di universitas ini memang sangat beragam, dari latar belakang yang bisa
dikatakan Indonesia kecil, mungkin dari Sabang sampai Merauke semua ada.
Perilaku mahasiswanya pun sangat beragam. Dari yang disiplin sampai yang leda-lede
pun ada. Namun saya yakin, bahwasannya fenomena di Universitas Sanata Dharma
bisa sedikit banyak mewakili apa yang terjadi di universitas-universitas lain.
Bahkan mungkin saja di universitas lain lebih dinamis.
Ada pola yang berbeda dari perilaku
akademis mahasiswa dari masa ke masa. Sampai pada tahun 2000-an, mahasiswa
cenderung santai dan rileks dalam menempuh masa studinya sehingga banyak dari
mahasiswa ini yang menyandang gelar 'Mapala' yang mempunyai maksud 'mahasiswa
paling lama'. Uniknya, mahasiswa yang tergabung dalam UK Mapala (Unit Kegiatan
Mahasiswa Pecinta Alam) kebanyakan akan menyandang gelar yang sama -Mapala
(Mahasiswa Paling Lama). Sedang pada tahun setelah 2000, mahasiswa cenderung
lulus dengan lebih cepat.
Pola mahasiswa yang berubah ini
sedikit banyak terpengaruh dari kebijakan kampus itu sendiri. Di Universitas
Sanata Dharma misalnya, kalau tidak salah ingat, semenjak tahun 2004 mahasiswa
diberikan waktu studi maksimal 5 tahun. Jika mahasiswa tidak mampu
menyelesaikan studi mereka dalam waktu yang disediakan oleh pihak kampus, maka
mereka harus mempersiapkan diri untuk menyandang gelar 'DO' atau Drop Out
(walau banyak dari mahasiswa ini menerima “kebebasan bersyarat” dari kampus).
Biasanya, untuk mahasiswa yang mengalami peristiwa naas tersebut pihak kampus
akan memberikan pilihan kepada mahasiswa untuk mengundurkan diri. Cara ini
dianggap lebih persuasif, manusiawi, dan egaliter dari pada pihak kampus
menjatuhkan vonis 'DO' yang mengerikan kepada mahasiswa naas tersebut.
Kebijakan kampus yang dikeluarkan
dalam rangka pendidikan ini terkait di beberapa wilayah antara lain;
masyarakat, pemerintah dan permintaan pasar. Dalam arti lain, pendidikan
menjadi bahan tarikan di ke-tiga wilayah tersebut. Sedangkan, pemerintah
mempunyai kekuasaan untuk mengarahkan pendidikan nasional. Hal yang tak kalah
penting untuk diperhatikan adalah euforia tentang pasar bebas, yang memang
tidak bisa dipungkiri, pemerintah merespon positif akan hal tersebut.
Pasar bebas sangat membutuhkan
tenaga-tenaga ahli siap pakai untuk mengikuti bahkan berakselerasi dalam sistem
pasar antara lain produksi, distribusi, dan konsumsi dalam persaingan tingkat
internasional. Oleh karena itu, negara-negara pemuja pasar bebas akan
mengkonstruksi kebijakan-kebijakan dalam negeri, salah satunya dalam bidang
pendidikan, sebagai upaya untuk membangun daya saing.
Menurut Drijarkara, pendidikan itu
harusnya semakin memanusiakan manusia muda. Tantangan pendidikan saat ini
bukanlah pada bagaimana mencetak tenaga-tenaga ahli yang siap kerja saja, namun
juga membentuk intelektual publik yang siap menjadi oposisi dari
intelektualitas yang semakin condong mengarah ke pasar bebas.
Negara semakin maju akan cenderung
makin masuk ke dalam percaturan pasar bebas. Indonesia tergabung dalam AFTA
(ASEAN Free Trade Area). Indonesia juga mengarahkan pendidikan nasional melalui
perundangan, kemendiknas, dan sebagainya. Dari kebijakan-kebijakan yang ada
kita bisa mengetahui apakah pendidikan yang diselenggarakan oleh Indonesia
masih bisa dikatakan “Pendidikan” atau sudah bergeser menjadi lembaga
pelatihan, kursus atau bahkan kaderisasi.
Pembahasan
WTO (World Trade Organization)
atau Organisasi Perdagangn Dunia merupakan satu-satunya badan dunia yang yang
secara khusus mengatur masalah perdagangan antar negara. Tujuannya adalah
membantu produsen barang dan jasa, eksportir, dan importir dalam kegiatan
perdagangan. WTO didirikan pada tanggal 1 Januari 1995.
Ada sebuah perjanjian di bawah WTO
yang disebut GATS (General Agreement Trade in Services) yang mengatur
secara umum untuk sektor jasa. Tujuan GATS adalah untuk memperluas tingkat
liberasi sektor jasa di antara negara-negara anggota, sehingga diharapkan
perdagangan di sektor jasa semakin berkembang.
Pelayanan pendidikan dimasukkan
dalam golongan jasa atau services. Semenjak pelayanan pendidikan dimasukkan
dalam kategori jasa, terbentuklah dua wacana besar yang saling berseberangan
antara pendidikan adalah layanan publik (publik good) dan pendidikan
adalah jasa (services). GATS mempunyai potensi melemahkan peran
pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan nasional karena semua layanan
publik harus terbuka untuk persaingan asing. Dampak GATS pada pendidikan tinggi
meliputi subsidi, dana negara, akreditasi, jaminan kualitas, dll.
Jika pendidikan masuk dalam dimensi
ekonomi dan atau jasa, maka pendidikan merupakan layanan yang dapat
diperdagangkan yang berkaitan dengan kekayaan intelektual. Sekolah maupun
perguruan tinggi bisa menawarkan apa yang mereka punyai sebagai komoditas.
Iming-imingnya adalah ketrampilan pada bidang tertentu dan kesempatan kerja
yang akan didapat oleh para calon peserta didik. Bahkan, sebuah institusi bisa
menawarkan sebuah fasilitas tertentu bagi peserta didik yang diterima. Misalnya
pemberian laptop gratis bagi yang diterima. Hal ini tentu saja menimbulkan
persaingan bisnis dalam dunia pendidikan.
Pasca Perang Dunia II, muncul
kesadaran bahwa tenaga kerja yang berkualitas sangat diperlukan bagi
pertumbuhan ekonomi. Hal ini mengakibatkan peningkatan jumlah peserta didik.
Karena jumlah siswa atau peserta didik meningkat, maka permintaan akses untuk
perguruan tinggi juga meningkat. Hal ini sejalan karena tenaga kerja di bursa
lapangan kerja membutuhkan gelar universitas.
Globalisasi didukung oleh
keberhasilan Bahasa Inggris dalam mengambil alih bahasa nasional dalam
pendidikan tinggi. Saat ini di Indonesia, Bahasa Inggris bahkan mulai dikenalkan
sampai ke jenjang Sekolah Dasar. Pertukaran pelajar pun sebagai pintu masuk
konsep budaya mancanegara. Baik swasta maupun pendidikan tinggi publik melihat
bahwa mahasiswa asing merupakan sumber pendapatan.
GATS mempunyai pengaruh dalam sistem
pendidikan tinggi. Menurut Knight, internasionalisasi pada pendidikan tinggi
adalah ketika pada saat yang sama dipengaruhi oleh globalisasi. Istilah
nasionalisasi menggambarkan hubungan pertumbuhan antar bangsa dan antar budaya.
Globalisasi tidak menciptakan satu dunia politik atau menghapuskan
negara-bangsa. Tetapi mengubah kondisi negara-bangsa yang beroperasi
(Marginson, 2000). Negara-bangsa yang telah terpengaruh oleh globalisasi akan
merubah pola beroperasi yang lama-kelamaan akan mengikuti pola negara-negara maju.
Globalisasi ini membuat perguruan
tinggi mengalami reformasi. Kehidupan perguruan tinggi menjadi sangat kompleks.
Birokrasi menjadi kompleks, massifikasi perguruan tinggi, terjadi privatisasi
perguruan tinggi, korporatisasi perguruan tinggi, internasionalisasi perguruan
tinggi negeri, dan lain sebagainya.
Massifikasi perguruan tinggi
mengakibatkan kekurangan sumber daya manusia terutama pada bidang staf
pengajar. Banyak akademisi muda yang baru bergelar master direkrut untuk
menjadi staf pengajar di universitas-universitas negeri. Idealnya, staf
pengajar di perguruan tinggi yang sudah bergelar doktor. Di perguruan tinggi
swasta, hal ini semakin parah. Banyak fresh graduate S1 yang direkrut untuk
menjadi dosen. Alhasil, pihak perguruan tinggi harus menanggung biaya studi
lanjut mereka agar sesuai dengan regulasi yang diterapkan pemerintah setempat.
Ketika kekuatan akademik universitas
semakin berkembang, pengelolaan institusi dibatasi oleh suatu lapisan birokrat
profesional yang memiliki kekuatan besar dalam pelaksnaan administrasi
sehari-hari di universitas tersebut (Altbach, 1991). Semua institusi umum
didanai oleh pemerintah sehingga institusi-institusi tersebut berjalan
sebagaimana departemen-departemen dalam pemerintah. Oleh karena itu, pemerintah
menuntut adanya akuntabilitas dengan dana yang sudah dikeluarkan bagi
universitas. Para akademisi harus
menyerahkan pengendalian fiskal, meningkatkan produktifitas mereka, dan harus
tunduk pada peraturan dan regulasi serta prosedur penilaian yang menyeluruh dan
detail. Sebagai akibatnya, budaya akademik kehilangan kolegialitas dan menjadi
lebih birokratis dan hirarkis dengan konsentrasi kekuasaan di atas.
Perkembangan perguruan tinggi di
Indonesia sangat cepat. Hal ini mendorong perguruan tinggi untuk melakukan
persaingan di antara mereka. Perguruan tinggi yang berkembang ini beberapa
berorientasi pada laba yang didirikan oleh pengusaha-pengusaha, perusahaan swasta atau konsorsium, dan PT serta BUMN.
Institusi swasta nirlaba didirikan oleh yayasan-yayasan, organisasi-organsasi
amal, dan melalui dukungan masyarakat (Lee, 1999). Institusi swasta ini
menawarkan berbagai macam program dalam berbagai macam bidang ilmu. Pembukaan
sektor swasta juga membuka kesempatan kerja bagi para akademisi, namun kali ini
bisa menyebabkan merosotnya etos kerja terutama bagi para akademisi yang
bertugas di perguruan tinggi swasta yang kecil dan minim pendanaan.
Pasar
menentukan mata kuliah apa saja yang harus diajarkan, penelitian yang mana yang
layak didanai. Dalam budaya korporasi inilah hasil penelitian seorang profesor
di universitas mungkin tidak dinilai secara kriteria tradidional “apakah itu
valid?”, namun dinilai dengan kriteria komersial “untuk apakah itu?” atau
“apakah hal itu bisa dijual?”. Maka pendidikan model ini akan selalu mengacu
pada jual-beli. Bukan pada hakikat pendidikan yang sebenarnya.
Penetrasi
budaya korporat ke akademisi tidak terbatas pada institusi swasta tetapi juga
ke universitas negeri. Melalui korporatisasi, perguruan tinggi negeri dibebaskan dari serangkaian
supervisi birokratik pemerintah dan
harus beroperasi seperti halnya perusahaan bisnis. Perguruan tinggi swasta
dikorporasi dalam pengelolaannya saja, tidak dalam hal pendanaan.
Pendidikan
tinggi dengan cepat terinternasionalisasi ke seluruh dunia dan Indonesia
demikian juga. Internasionalisasi ini tercermin dari aliran ilmu pengetahuan,
cendekiawan/sarjana, dan mahasiswa ke seluruh penjuru dunia melampaui
batas-batas negara. Dengan kemajuan dan teknologi, banyak program pendidikan
dihadirkan dan disampaikan dengan cara yang tidak tradisional lagi, misalnya
pembelajaran jarak jauh, program lepas, dan pembelajaran elektronik.
Para
akademisi yang bukan menjadi bagian dari tim pengelolaan tidak memiliki suara
dalam hal menjalankan institusi. Peran utama mereka adalah mengajar dan
memastikan bahwa anak didik mereka lulus ujian. Di beberapa perguruan tinggi
swasta bahkan perlakuan kepada mahasiswa justru lebih baik daripada perlakuan terhadap
dosen-dosen mereka. Para mahasiswa diperlakukan sebagai konsumen yang sangat
bernilai dimana keinginan dan kepuasan mereka diutamakan karena mereka telah
membayar.
Semua
institusi dikelola secara manajerial dan bukan kolegial. Sehingga mayoritas akademisi
merasa bahwa mereka juga memiliki suara yang lemah terhadap pembuatan keputusan
dan sangat tidak mungkin memberikan pengaruh pada kebijakan akademik. Praktik
birokratik yang top down termasuk dalam membuat keputusan-keputusan
akademik telah memperlemah posisi staf akademik dimana mereka sebenarnya punya
hak untuk ditanya.
Selama lembaga-lembaga tersebut dijalankan secara komersial, sangat sering
para dosen diwajibkan untuk memasarkan program-program mereka dan juga merekrut
mahasiswa, karena jika ternyata program-program mereka tidak berjalan dengan
baik, akan sangat mungkin mereka kehilangan pekerjaan. Untuk sebagian besar,
budaya birokrasi akademik ini baik langsung maupun tak langsung telah
mempengaruhi peran dan fungsi para akademisi.
Lebih-lebih
kebijakan-kebijakan kampus, padatnya tugas-tugas kuliah, ancaman DO, biaya
kuliah yang tinggi, membuat mahasiswa menjadi back to campus, mahasiswa
KUPU (habis KUliah Pulang) yang tanpa mereka sadari, kepedulian akan lingkungan
sekitar menjadi tumpul. Mahasiswa lebih memilih untuk stay on the track
dari pada mereka tertimpa bencana DO.
Hal-hal
diatas adalah paling mungkin memengaruhi dinamika belajar para mahasiswa
sehingga muncul fenomena-fenomena tertentu. Fenomena yang muncul pastilah tidak
mungkin muncul begitu saja, namun berkaitan dengan sistem di mana mereka
berada. Dalam hal ini ada kemungkinan wacana pasar bebas yang difasilitasi oleh
WTO, World Bank dan kroni-kroninya telah berpengaruh pada sistem pendidikan
nasional yang cenderung memenuhi kebutuhan pasar, bukan pada arti pendidikan
itu sendiri. Bukan pula memenuhi kebutuhan ruang publik, memproduksi
intelektual publik sehingga menciptakan manusia-manusia muda yang utuh, cerdas,
dan humanis.
Kesimpulan
Indonesia
merespon positif pasar bebas dan menjadi member dalam AFTA. Indonesia membuat
kebijakan dalam dunia pendidikan yang cenderung mengarah kepada kebutuhan pasar
bebas. Pendidikan di Indonesia masih cenderung vokasional. Hal ini menimbulkan
efek pada lulusan perguruan tinggi untuk selalu mencari perkejaan (dengan
menjadi karyawan, babu).
Para
cendekiawan Indonesia hanya mempunyai tempat sebagai pengamat apapun sesuai
bidangnya, paling banter ya cuma dosen. Para cendekiawan Indonesia belum
mempunyai tempat strategis dalam pengambilan kebijakan publik demi kemaslahatan
bangsa dan negara.
Daftar
Pustaka
1.
Philip G. Altbach, The Decline of the Guru The Academic Profession in
Developing and Middle-Income Countries (2003)
2.
Higher Education and GATS, Ales Vlk, 2006
http://djpen.kemendag.go.id/app_frontend/contents/53-indonesia-in-fta (18/06/2015, 23:55)
No comments:
Post a Comment