oleh: Emmanuel Kurniawan
STANDAR?
1. Standar di
Sekitar Kita
Tak dipungkiri, kadang memang ada kenikmatan ketika kita berhasil
melakukan sesuatu sesuai dengan standar tertentu – apalagi jika standar itu diciptakan
oleh “sesuatu” yang rasa-rasanya lebih hebat, lebih “mulia” (bahkan
transenden), tidak tersentuh, dan diikuti oleh banyak orang. Kenikmatan itu
barangkali merupakan muncul dari perasaan bahwa dengan berhasil mengikuti suatu
standar, maka kita seakan-akan “terbaptis”, layak, “menjadi anggota”, atau “menjadi
bagian” dari sesuatu yang lebih besar dan mulia tadi. Benar pendapat Althusser,
bahwa subjektivikasi oleh Liyan menyebabkan individu mana pun terinterpelasi,
dan “menikmati” statusnya sebagai subjek; betapapun tereksploitasinya subjek
tersebut (Althusser, 1968) .
Sepanjang pengalaman saya bersekolah[1] di
bidang teknik, saya merasakan tidak pernah terlepas dari standar. Minimal ada
dua hal yang bisa saya petik dari pengalaman tersebut.
Pertama, di tengah
“frustrasi” saya mencari referensi, saat itulah pertama kali saya menyadari
bahwa apapun yang saya temukan dalam penelitian di laboratorium, selalu
merupakan komodifikasi, memiliki nilai ekonomi, sehingga layak untuk dipandang
sebagai aset. Bahkan sebagai faktor produksi. Kegiatan studi atau studeren menurut pandangan Mohammad Hatta[2]
ternyata bukan hanya demi pengetahuan itu sendiri yang nantinya dapat diakses
siapa saja (terutama masyarakat di mana perguruan tinggi berada), namun menjadi
komoditi.
Kedua, bagi mahasiswa
teknik (saat itu), “etika penelitian” adalah melakukan segala sesuatu sesuai
prosedur dan standar. Semua material yang saya gunakan harus sudah ada dan
terstandar di Handbook. Ada handbook menurut standar Jepang,
Amerika, dan Jerman. Saya harus memilih salah satu untuk menstandarkan jenis
material yang saya gunakan. Jurusan tidak pernah mau menerima “material baru”
yang tidak ada di dalam handbook. Kala
itu SNI (Standar Nasional Indonesia) masih belum berkembang. Dan penggunaan
standar dalam pemilihan bahan merupakan suatu hal yang sangat ditekankan. Dasar
teori bisa berubah, tetapi material yang digunakan harus sesuai standar. Hal
itu cukup memusingkan saya saat itu, karena saya salah satunya menggunakan
gerabah buatan kasongan sebagai material. Perlu waktu berbulan-bulan untuk
“memodifikasi” gerabah tersebut agar sesuai dengan standar. Namun, kemudian
hari saya menyadari bahwa standar-standar tersebut diterapkan mula-mula adalah
demi keamanan atau safety. Karena
bidang teknik bersinggungan langsung dengan keselamatan kerja, dan hampir semua
bidang pekerjaan di teknik memiliki risiko keselamatan fisik yang besar, maka
penggunaan standar ini bisa saya maklumi. Dari hal ini, saya belajar bahwa
mengikuti standar tidak sepenuhnya salah. Hal itu saya yakini hingga beberapa
tahun kemudian.
Uraian di atas menunjukkan pentingnya sebuah standar. Namun,
sampai kapan standar itu kemudian berubah menjadi “mahapenting”? Sementara itu,
kini, ada banyak sekali standar. Di lingkungan industri kita mengenal ISO 9000,
ISO 9001, dan seterusnya. Bahan makanan harus terdaftar dan mengikui standar
BPOM-RI dan memperoleh label HALAL dari institusi terkait. Semua peralatan yang
kita gunakan selalu mengacu pada standar industri tertentu, baik lokal (SNI)
maupun internasional (ISO, ASA, JSI, dsb). Anak-anak sekolah distandarkan
melalui UAN dan kurikulum yang seragam. Para petani harus mengikuti standar
tertentu sehingga hasil sawahnya layak disebut “organik”. Karya ilmiah pun
harus mengikuti standar tertentu (yang kerap tidak berkaitan dengan metode
maupun objek penelitiannya) sehingga bisa disebut “karya ilmiah”. Guru harus
bersertifikasi sehingga pantas disebut “guru”. Pun sekolah dan perguruan tinggi
harus memiliki standar akreditasi tertentu.
Kebanyakan standar memiliki implikasi material; pihak (sebut saja
subjek) yang ingin mendapat pengakuan dalam standar tertentu harus melakukan
usaha-usaha ekstra untuk mendapat standar tersebut. Jadi ada “usaha” untuk
menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar, yakni standar (sebut saja Liyan).
“Usaha” tersebut bisa berupa perbaikan-perbaikan yang memang diperlukan demi
kebaikan subjek, tetapi bisa juga semata-mata demi kepentingan Liyan.
Contohnya, jika Anda adalah seorang petani organik tradisional[3],
maka Anda akan kesulitan menjual hasil bumi dengan label “organik” jika lahan
pertanian, cara bertani, dan alat yang digunakan tidak diakui menurut standar
tertentu oleh lembaga tertentu. Praktik ini juga berlaku ketika sebuah
perusahaan ingin mendapatkan standar ISO. Perusahaan tersebut harus
mengeluarkan uang sangat besar, baik untuk “biaya administrasi” maupun dalam
rangka pelatihan-pelatihan. “Bisnis pelatihan ISO” ini sangat subur di kota
besar, dan menjadi tren tersendiri. Permasalahannya adalah bahwa standar
tersebut akhirnya memisahkan antara “subjek yang layak” dengan “subjek yang
tidak layak”. “subjek yang tidak layak” akan berlomba-lomba mendapatkan
pengakuan agar menjadi “subjek yang layak”.
Pengakuan subjek oleh Liyan (menjadi terstandar) ini ibarat
anugerah. Sehingga usaha-usaha yang dilakukan untuk menjadi terstandar dianggap
layak, walaupun kerap kali nothing to do dengan
sesuatu yang substansial dilakukan subjek. Di sinilah terjadi dehumanisasi,
yakni ketika ada pihak yang mendominasi dan pihak yang didominasi. Pihak yang
didominasi biasanya menjadi objek perahan
atau eksploitasi demi keuntungan pihak yang mendominasi.
2. Standar
Perguruan Tinggi Menuju World Class
University
Melalui pengantar di atas, melalui paper ini saya ingin membahas
standar-standar yang diterapkan bagi perguruan tinggi agar mendapatkan status
“terstandar” sebagai WORLD CLASS
UNIVERSITY. Hal yang menarik adalah bahwa standar-standar tersebut
seakan-akan justru lebih valid ketimbang standar yang dibuat oleh pemerintah,
yakni BAN-PT (Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi). Ranking universitas
menurut Webometric, misalnya, lebih
populer di media dan justru kerap menjadi acuan anak lulusan SMA untuk memilih
perguruan tinggi[4]. Selain
itu, istilah world class university itu
sendiri sebenarnya sudah mengacu pada universitas macam apa yang nantinya
dianggap sebagai kampus global.
Biasanya, badan pemberi standar ini akan memublikasikan temuannya
secara reguler agar dapat dijadikan acuan. Periode publikasi itu sendiri ada yang dilakukan setiap 4 tahun (misalnya
BAN-PT) maupun hanya 6 bulan (Webometric). Selain BAN-PT, badan-badan pemberi
standar biasanya menunjukkan temuannya dalam bentuk ranking, baik berdasarkan
regional (misalnya Asia Tenggara atau Asia Pasifik), nasional (berdasar
negara), maupun berdasarkan area bidang studi (misalnya bidang seni, ilmu
sosial, medis, teknik, dsb). Dari hasil publikasi tersebut, biasanya perguruan
tinggi memperoleh manfaat berupa “evaluasi”: apakah rankingnya naik atau turun.
Terlepas dari “kebanggaan” atau jiwa “corsa”
para civitas akademik perguruan tinggi terkait, kampus manapun akan senang jika
mendapat peringkat yang bagus. Buktinya, setiap kali publikasi dari badan
standar muncul, maka berita tersebut disebarluaskan di kampus, dan (jika
rankingnya baik) maka akan menjadi semacam “prestasi” yang layak untuk dicantumkan
di brosur dan baliho demi menjaring lebih banyak lagi mahasiswa baru.
STANDAR PERGURUAN TINGGI
Sampai saat ini ada beberapa jenis standar untuk meranking sebuah
perguruan tinggi. Saya sengaja memilih 3 macam standar perguruan tinggi yang
dianggap paling reliable (standar
yang justru jarang kita lihat di brosur perguruan tinggi swasta[5])
di dunia untuk dibandingkan dengan acuan-acuan yang terdapat di dalam borang
akreditasi BAN-PT. Standar tersebut adalah sebagai berikut (Asih, 2014) .
a.
Ranking THES-QS (The Times Higher Education Supplement
bekerja sama dengan QS Top Universities)
Ranking THES-QS menarik karena merupakan kerja sama antara lembaga
media Times dengan lembaga survey QS Top
Universities. Salah satu tujuan lembaga yang berkantor di Inggris ini
adalah untuk menyediakan informasi yang akurat bagi calon mahasiswa di seluruh
dunia melalui media yang populer, yakni majalah, koran, buku, dan internet.
Sebelumnya, kebanyakan ranking universitas dipublikasikan hanya di
jurnal-jurnal dan penerbitan yang sifatnya terbatas.
Secara garis besar, THES-QS memiliki 4 kriteria penilaian, yakni:
Kualitas Penelitian (Research
Quality)
Kriteria ini memiliki
bobot paling tinggi, yakni 60%. Untuk mendapatkan kualitas penelitian, THES-QS
melakukan angket secara online yang disebarkan sampai 190.000 akademisi sebagai
responden. Para akademisi ini dipilih berdasarkan tingkat kepakaran dan bidang
yang digeluti, misalnya Arts &
Humanities, Engineering & IT, Life Sciences & BioMedicine, Natural
Science, dan Social Science. Tiap
responden dimina untuk memilih 30 universitas terbaik di wilayah responden
masing-masing dari sudut pandang kepakaran responden.
Selain itu, kualitas penelitian juga
diperoleh dari citation per faculty atau
jumlah tulisan ilmiah yang dihasilkan oleh universitas tersebut dan jumlah
kutipan (citation) atau tulisan ilmiah yang dikutip oleh
peneliti lain berdasarkan data dari Essential
Science Indicator (ESI).
Baik ESI maupun angket dilakukan secara
online. Kelemahan metode ini –
menurut saya – adalah validitasnya yang tidak bisa dipertanggungjawabkan jika
digunakan untuk mengukur perguruan tinggi di negara berkembang atau
terbelakang. Hal ini karena publikasi yang tidak dilakukan secara online
(misalnya secara manual dan karya tulis menggunakan mesin ketik untuk dicetak)
tidak akan dihitung.
Graduate Employibility
(GE)
GE adalah kesiapan lulusan perguruan tinggi untuk
dipekerjakan di dunia kerja. Hal ini berkaitan erat dengan kemampuan lulusan
dalam beradaptasi dengan dunia baru, perkembangan baru, serta pengetahuan umum.
Lebih lanjut, hal ini juga dipengaruhi bagaimana perguruan tinggu memformulasi
silabus dan programnya sehingga terjadi link
and match antara perguruan tinggi dengan dunia kerja.
GE hanya mendapat bobot 10%, dan didapatkan berdasarkan
indikator penilaian Recruiter Review
dari survey atas 375 perekrut tenaga kerja.
International Outlook
Kriteria ini juga mendapat jatah 10% bobot penilaian. Kriteria
ini diperoleh berdasarkan dua faktor, yakni jumlah fakultas yang menyediakan
program internasional dan jumlah mahasiswa internasional.
Teaching Quality
Kriteria ini
menunjukkan kualitas pengajaran. Dengan bobot penilaian 20%, kriteria ini
didapatkan dari menghitung rasio jumlah mahasiswa dengan fakultas dan
pengajarnya.
b.
ARWU (Academic
Ranking of World Universities)
ARWU sebenarnya masih tergolong baru, yakni berdiri sejak 2003. Uniknya,
lembaga ini didirikan oleh World Class
University and Higher Education Center di bawah Universitas Jiao Tong,
Cina. Awalnya, lembaga ini didirikan untuk membantu dan melihat posisi
perguruan tinggi-perguruan tinggi di Cina yang menjamur dan kualitasnya
berkembang pesat melalui publikasi umum. Namun, lembaga ini justru akhirnya
menjadi tolak ukur kualitas pendidikan tinggi di dunia, dan Asia pada
khususnya. Publikasi ARWU banyak sekali dikutip dan diikuti oleh perguruan
tinggi. Bahkan majalah The Economist pada
tahun 2005 berkomentar bahwa ARWU merupakan “ranking tahunan yang paling banyak
dijadikan acuan oleh para peneliti di seluruh dunia.” Salah satu faktor yang
menyebabkan ARWU populer adalah karena posisinya yang tidak “memihak” pada
negara-negara UTARA serta metodologinya yang transparan dan dianggap sebagai
“suara global”.
Sebagai perkembangan dari ARWU, maka lembaga ini pada tahun 2009
juga mendirikan Shanghai Ranking
Consultancy (SRC), organisasi independen yang melakukan penelitian mengenai
perbandingan kualitas universitas secara global yang hasilnya nantinya dapat
digunakan oleh pemerintah maupun swasta dalam menentukan strategi pendidikan
tinggi.
Kriteria-kriteria dalam penilaian ARWU adalah sebagai berikut.
1.
Alumni
Dalam kriteria ini dihitung jumlah alumni yang telah
mendapatkan pernghargaan (misalnya hadiah Nobel dan Field Medal). Semakin
terkini penghargaan tersebut diberikan (dihitung dari saat assessment), maka semakin besar skor-nya.
2. Award
Kriteria ini menunjukkan jumlah staff dan pengajar yang saat
assessment dilakukan telah menerima
penghargaan. Semakin terkini penghargaan tersebut diberikan, maka semakin besar
skor-nya.
3. HiCi (High Citation)
Jumlah peneliti (staf dan dosen) yang mendapatkan high cited researcher, atau peneliti
yang tulisan-tulisannya paling banyak dikutip oleh peneliti lain dalam 20
kategori subjek penelitian berdasarkan
publikasi dari ISIHighlyCited.Com.
4. PUB (Publication)
Jumlah artikel yang ditulis oleh staf, dosen, dan mahasiswa,
yang di-indeks oleh Science Citation
Index-Expanded dan Social Science
Citation Index (http://www.isiknowledge.com).
5. TOP
Kategori ini menunjukkan jumlah artikel dari perguruan
tinggi bersangkutan yang masuk ke dalam “Top 20%” di jurnal internasional.
Penentuan ini berdasarkan impact factor
yang dicatat oleh Journal Citation Report
(http://isiknowledge.com).
6. Fund
Kategori ini menunjukkan total anggaran penelitian sebuah
perguruan tinggi. Data diperoleh baik dari perguruan tinggi yang bersangkutan
maupun dari pihak pemberi donor.
c.
Webometric
Webometric adalah
seperangkat alat dan metode yang digunakan untuk mengukur kualitas sebuah
perguruan tinggi melalui internet. Atau dengan kata lain, Webometric menunjukkan kualitas perguruan tinggi di dalam dunia
maya.
Webometric dilakukan
oleh Cybermetrics Lab., sebuah
institusi yang dijalankan oleh CINDOC
(Centro de Informacion y Documentacion) yang berada di bawah CSIC atau Dewan Riset Nasional Spanyol.
Lembaga ini mempublikasikan hasil penelitiannya 6 bulan sekali, yakni di bulan
Januari dan Juli serta melingkupi seluruh perguruan tinggi di dunia yang
memiliki website.
Perankingan Webometric ini
termasuk paling populer di Indonesia. Hal ini karena Webo meranking sampai 5.000 perguruan tinggi (tadinya 7.000
perguruan tinggi), meskipun yang diteliti adalah seluruh perguruan tinggi di
dunia. Hal ini menyebabkan peluang perguruan tinggi untuk memasuki ranking ini
lebih mudah. Nyatanya, jika perguruan-perguruan tinggi di Indonesia jarang
masuk ranking ARWU dan THES-QS, maka untuk tahun 2015 ini saja ada 33 perguruan
tinggi negeri dan swasta yang masuk di 5.000 besar Weometric. Selain itu, dinamika perankingan dalam Webometric cukup tinggi. Misalnya, ada
perguruan tinggi yang mendapat ranking 6.000. Dengan perbaikan infrastruktur
virtual (website, sistem data, dsb)[6],
maka di tahun berikutnya perguruan tinggi tersebut bisa melaju sampai ranking
2.000.
Kriteria penilian dalam Webometric
adalah sebagai berikut.
1.
Visibility (V)
Kriteria ini diukur dari tautan eksternal unik yang diterima
dari situs lain. Data ini diambil dari Yahoo
Search, Live Search, dan Exalead.
2. Size
(S)
Jumlah dan kuantitas (dalam kilobita) halaman perguruan
tinggi tersebut di internet ketika dicari menggunakan 4 search engine populer, yakni Google,
Yahoo!, Live Search, dan Exalead.
3. Rich
Files (R)
Volume file yang ada di situs perguruan tinggi tersebut.
Jenis file yang layak diperhitungkan adalah format Adobe Acrobat (pdf), Adobe
PostScript (ps), dan Offoce (doc, ppt).
4. Scholar
(Sc)
Data ini diambil dari Google
Scholar, yang berisikan semua tulisan, baik berupa artikel lepas, jurnal,
makalah atau bahkan bahan kuliah seorang peneliti di dunia maya yang terindeks
oleh Google. Peneliti di suatu kampus akan menyummbang skor yang tinggi jika ia
rajin menulis di dunia maya atau tulisannya banyak dikutip oleh peneliti lain.
Secara garis besar, kriteria di atas sangat bergantung pada positioning universitas di dunia maya,
termasuk di dalamnya akses tergadap dunia maya, koneksi dengan lembaga lain,
hubungan dengan lembaga internasional, dan sebagainya. Keempat kriteria Webometric di atas kemudian dihitung
dengan menggunakan rumus: Webometric Rank
= 4V+2S+R+SC.
TERUS GIMANA?
Dari uraian mengenai sistem perankingan perguruan tinggi di atas,
maka dapat dilihat bahwa untuk menjadi World
Class University, maka masih ada jalan panjang yang harus ditempuh oleh
universitas nasional (baik swasta maupun negeri). Namun, hal itu bukanlah
sesuatu yang mustahil. Dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir, ada 2 kampus
swasta di Yogyakarta yang pertumbuhannya sangat cepat, yakni UMY (Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta) dan AMIKOM. Kedua lembaga tersebut memiliki sejarah
panjang untuk memajukan dirinya, namun tentu saja nhal itu terbantu dengan
tingginya ranking kedua perguruan tinggi tersebut (walaupun bukan THES-QS dan
ARWU).
Selain itu, kondisi lain yang perlu diperhatikan adalah adanya
Badan Hukum Pendidikan serta diratifikasinya Deklarasi Sedunia Tentang
Pendidikan Tinggi Untuk Abad ke-21. Dalam
deklarasi tersebut dapat diringkas bahwa Visi Baru Perguruan Tinggi di Abad
ke-21 (UNESCO, 1998) adalah untuk memeratakan kesempatan
mengikuti pendidikan tinggi, menyebarkan hasil-hasilnya, sehingga dapat
berperan di masyarakat (pasal 3-10). Namun, visi tersebut diwujudkan salah
satunya dengan melakukan pendidikan tinggi yang borderless diimbangi dengan peningkatan mutu (pasal 11-17). Saya
melihat bahwa maraknya perguruan tinggi “memperbincangkan” dan berusaha
“menstandarkan diri” pada ranking internasional tidak terlepas dari peningkatan
mutu universitas (dari kacamata “UTARA”) dan bagaimana membuat universitas
lebih borderless (dapat diakses siapa
saja di seluruh dunia). Namun hal tersebut bukan tanpa masalah.
Beberapa masalah tersebut akan tampak dari beberapa catatan di
bawah ini, yang dibuat berdasarkan kriteria perankingan perguruan tinggi
sebagai world class university.
a.
Internet di perguruan tinggi Indonesia
Publikasi dan TOP 20% diambil dari situs http://isiknowledge.com, sedangkan High Citation diambil dari http://isihighlycited.com. Sementara itu,
semua data yang digunakan Webometric berasal
dari internet. Hal ini kemudian menimbulkan pertanyaan yang juga disinggung
oleh Philip Altbach (Altbach, 2003) , bahwa pengertian “pusat” dan
“pinggiran” juga berlaku di dunia internet. Selain perguruan tinggi di negara
dunia ketiga menghadapi masalah klasik berupa lemahnya infrastruktur,
persayaratan mengenai jurnal, tulisan ilmiah, dan bahkan topik-topik penelitian
hampir seluruhnya tergantung pada “pusat”, yakni negara-negara UTARA.
Ketidakadilan ini menyebabkan mustahilnya perguruan tinggi di negara dunia
ketiga untuk menguasai “rimba medan dunia maya” secara intelektual.
Apalagi ketika melihat bahwa yang diukur oleh ARWU dan Webometric adalah volume, kuantitas, dan
seberapa sering penelitian tersebut dikutip. Hal ini hanya membuktikan bahwa
penelitian tersebut memang populer, dan dibutuhkan banyak orang. Pertanyaannya
adalah apakah dibutuhkan banyak orang (dalam hal ini banyak peneliti) sebanding
dengan peran sertanya di masyarakat? Karena ketika suatu topik memiliki nilai
ekonomi yang tinggi, maka topik tersebut akan populer, dan akan banyak peneliti
yang meneliti topik yang sama, serta tinggilah nilai citation index. Namun, apakah memiliki nilai ekonomi tinggi selalu
memihak pada masyarakat? Di dunia yang dikuasai oleh sistem ekonomi
kapitalistik, maka hal itu menjadi terdengar naif.
b.
International
Outlook
Selain internet, penting untuk diamati bahwa international outlook dan kesempatan bekerja lulusan universitas
justru dijadikan acuan oleh THES-QS. Sebagai lembaga yang didirikan di negara
UTARA (Inggris), maka di satu sisi THES-QS ingin memenuhi kebutuhan nyata
mahasiswa untuk bekerja (dan begitu pula
harapan orang tuanya), namun di sisi lain merasa bahwa internasionalisme
meruapakan syarat sebuah kualitas. Barangkali tidaklah penting bagi universitas
di Inggris untuk membuka program internasional (yang artinya berbahasa
Inggris), karena setiap program selalu internasional. Berbeda jika kampus di
pelosok Yogyakarta ingin membuka program internasional, maka harus selalu
mengacu pada program studi di Inggris.
Dengan kata lain, barangkali menurut THES QS, satu-satunya negara
yang tidak memiliki program internasional (bukan secara formal atau
administratif belaka) justru adalah Inggris, karena – sekali lagi – setiap
program di Inggris sudah internasional. Hal ini bisa dibaca dengan menggunakan
wacana poskolonial di mana internasionalisasi atau universalisme masih tampak
di dalam pemberian ranking. Tentu saja Altbach juga mengkritisi hal ini, karena
standar semacam ini justru akan menyebabkan drain
brain. Peneliti akan memiliki stereotype bahwa kampus berkualitas adalah
yang internasional. Sementara kampus internasional terbaik ya hanya ada di
“internasional”: suatu lokasi imajiner yang kemudian diwujudkan menjadi “BARAT”
atau “UTARA”.
Jika melihat kriteria THES-QS mengenai employibility lulusan perguruan tinggi, maka memang semakin nyata
bahwa standar tersebut tidak dapat diterapkan di negara seperti Indonesia.
karena tentu saja standar job recruiter akan
berbeda di tiap negara dan tiap budaya.
Melihat hal ini, masuk akal jika THES-QS kurang populer di
Indonesia, meskipun sebenarnya menurut saya termasuk paling konvensional dalam
membuat ranking penelitian suatu perguruan tinggi. Sayangnya, hanya bisa
dilakukan di negara-negara tertentu dengan prakondisi tertentu pula (misalnya
komunikasi yang lancar, negara dalam keadaan damai, dan infrastruktur
komunikasi yang lancar).
c.
Kasus khusus Webometric
Pada akhir tahun 2000-an, seiring dengan masuknya
universitas-universitas Indonesia ke dalam ranking webometric, maka terjadi pro kontra di kalangan akademisi. Pihak
yan pro merasa bahwa keterwakilan perguruan tinggi di internet dapat menjadi
tolak ukur “geliat intelektual” civitas akademika di dalamnya. Hal ini didukung
oleh berbagai hasil publikasi penelitian, logika bahwa “mereka yang dikutip
berarti lebih pintar”, dan sebagainya.
Pihak yang kontra dengan webometric
menganggap bahwa tidaklah mungkin mengukur kualitas perguruan tinggi hanya dari
penampilannya di website. Webometric melalui
situs resminya berulang kali menegaskan bahwa yang diukur bukanlah website
ataupun desain website sebuah kampus, melainkn lalu lintas data yang melibatkan
kamput tersebut (Webometrics) .
Webometric juga mewanti-wanti timbulnya kecurangan karena modifikasi tag dalam
search engine, dan
manipulasi-manipulasi lainnya. Memang, tiap saat webometric mengeluarkan semacam catatan bahawa di kampus tertentu
ada hal-hal yang tidak diukur karena – misalnya – memiliki lebih dari satu
domain website.
Menariknya, banyak kampus swasta yang berusaha mendapat ranking di
webometrics. Bahkan ITB (Institut
Teknologi Bandung) sampai mengadakan pelatihan (internal dan eksternal)
mengenai cara-cara mendapatkan ranking webometrics[7].
Jika hal ini dibawa ke ranah hiperealitas, maka bisa jadi kualitas yang
muncul bukanlah kualitas sebenarnya, tetapi hanya popularitas di dunia maya.
Karena acuan bagi para calon mahasiswa baru di Indonesia adalah webometrics.
d.
Menengok Tri Dharma Perguruan Tinggi
P. Swantoro (Swantoro, 1964) mengemukakan bahwa
perguruan tinggi memiliki tridharma. Tridharma atau tanggung jawab perguruan
tinggi bagi masyarakat, pertama-tama adalah pengabdian kepada masyarakat. Kedua
adalah pengajaran dan pendidikan, ketiga adalah penelitian.
Dengan meihat ke-3 ranking demi World Class University, maka wacana pengabdian masyarakat justru
tidak ada. Bahkan tidak disinggung sama sekali. Barangkali yang dimaksud
pegabdian masyarakat dalam rankin internasional adalah memberi kontribusi
intelektual bagi rekan-rekan peneliti. Hal ini jelas berbeda dengan anggapan
Swantoro dan M. Hatta bahwasanya berkontiribusi pada masyarakat adalah memberi
sumbangan secara umum. Dengan kata lain, perguruan tinggi ada (atau para
intelektual ada) bukanlah demi melanggengkan keberadaan the ruling class, melainkan terbuka bagi siapa saja. Pengabdian
masyarakat justru seharusnya menjadi titiuk balik pendidikan terkini guna
bersama-sama menjadi bagian dalam masyarakat, serta memihak kepentingan
masyarakat secara umum.
USULAN DAN CATATAN PENUTUP
Dari uraian-uraian dan catatan di atas, saya sedikit menyimpulkan
bahwa
1.
Ranking untuk mencapai world class university bukanlah metode yang tepat untuk digunakan
di Indonesia, karena lemah di dalam metode serta berisiko tinggi dalam artian
dapat menyebabkan dehumanisasi
perguruan tinggi yang secara organik ada di Indonesia.
2.
Beberapa kategori di dalam sistem perankingan
tersebut bisa jadi merupakan distorsi dari penerapan Visi Baru Perguruan Tinggi
di Abad ke-21 (UNESCO, 1998) yang secara erat
berusaha mengabdi pada kepentingan pasar.
3.
Sikap calon mahasiswa dan civitas akademika
perguruan tinggi di Indonesia dalam menghadapi sistem perankingan internasional
masih terpecah, dan hal ini mungkin dapat dianalisis lebih lanjut melalui
neo-marxis dan poskolonial.
Melihat hal tersebut, maka saya memiliki dua usulan yang bisa
saling melengkapi maupun saling menggantikan. Pertama, perlunya wacana perankingan baru selain BAN-PT sekarang
atau memodifikasi BAN-PT sehingga dalam membuat ranking (atau lebih tepatnya
evaluasi, bukan untuk standarisasi) meletakkan tujuan pendidikan tinggi di
porsi yang paling besar, dan tidak terjerumus dalam new managerialism yang “neurotik-obsesif”, yakni “mengikuti standar
hanya demi standar itu sendiri” betapapun mahal dan susah payahnya. Modifikasi
BAN-PT inilah yang saya kira menjadi usulan solusi paling memungkinkan untuk
diwujudkan.
Kedua adalah
mempromosikan bahwa “keuntungan perguruan tinggi” bukanlah terletak pada ketika
perguruan tinggi tersebut memasuki pasar (atau menghasilkan “produk” berupa
lulusan yang high valuable).
Keuntungan ini juga bukan terletak pada minat besarnya calon mahasiswa untuk
mendaftar dan membayar, dan pula bukan terletak pada nilai kerja sama yang
dilakukan dengan pihak industri. Bahkan, lebih intangible lagi, keuntungan perguruan tinggi juga bukan terletak
pada award, sambutan baik, dan
pujian-pujian dari seluruh dunia.
Menurut saya, keuntungan (dan satu-satunya alasan sehingga sebuah
perguruan tinggi layak didirikan) adalah bahwasanya perguruan tinggi tersebut
akan “memperadabkan” masyarakat di sekitarnya. Peradaban yang humanis ini
berarti pula memandirikan dan memerdekakan. Kesejahteraan adalah kemerdekaan dari
memutuskan nasib sendiri. Dan jika hal itu terwujud, maka perguruan tinggi
menjadi “kekayaan sosial” masyarakat di sekitarnya, demikian pula sebaliknya.
Demikian paper saya, semoga tulisan ini dapat memberi sumbangan
pemikiran dalam studi pendidikan kritis, dalam hal ini Kajian Universitas.
Yogyakarta,
19 Juni 2015
Daftar Pustaka
Altbach,
P. G. (2003). The Decline of the Guru: The ecademic profession in
developing and middle income countries. New York: Palgrave Macmillan.
Althusser,
L. (1968). Ideology and Ideological State Aparatuses. In L. Althusser, Lenin
and Philosophy and Other Essays (1971) (B. Brewster, Trans.). New York:
Monthly Review Press.
Asih.
(2014, March 4). Tolak Ukur Kualitas Perguruan Tinggu. Retrieved June
17, 2015, from www.asih.staff.telkomuniversity.ac.id:
http://asih.staff.telkomuniversity.ac.id/2014/03/04/tolak-ukur-kualitas-perguruan-tinggi
Hatta,
M. (1957). Tanggung Jawab Moral Kaum Intelegensia. In A. Mahasin, & I. Natsir,
Cendekiawan dan Politik (1983). Jakarta: LP3ES.
Swantoro,
P. (1964, April). Tugas Perguruan Tinggi. BASIS .
UNESCO.
(1998). Deklarasi Sedunia tentang Pendidikan Tinggi untuk Abad ke-21: Visi dan
aksi serta acuan prioritas tindakan bagi perubahan dan pengembangan pendidikan
tinggi. In A. Supratiknya, & S. Sunardi (Eds.), Pendidikan Tinggi dalam
Abad Kedua Puluh Satu (2005). Yogyakarta: Sekretarian Mission and
Identity.
Webometrics.
(n.d.). Objetives. Retrieved June 17, 2015, from www.webometrics.info: http://www.webometrics.info/en/objetives
[1] Yakni
selama 3 tahun menjadi murid TK, 12 tahun menjadi siswa, 8 tahun menjadi
mahasiswa S-1 dan sekitar 2 tahun menjadi mahasiswa S-2.
[2]
Hatta membedakan leren (atau learning) dengan studeren (atau study)
dalam rangka menjelaskan tanggung jawab moral intelegensia perguruan tinggi (Hatta, 1957)
[3]
Yaitu petani yang tidak pernah menggunakan bahan-bahan kimia buatan pabrik
(misal pupuk urea, bahan pembasmi hama, dsb) sehingga aman dikonsumsi.
Kenyataannya, petani yang hidup di pelosok daerah justru mempraktikkan pertanian
organik, misalnya Orang Samin. Namun, “ke-organik-an” pertanian organik
tradisional harus diakui terlebih dulu oleh lembaga-lembaga pemberi sertifikat
“bahan pangan organik”. Masalahnya, lembaga-lembaga tersebut justru berasal
dari negara-negara maju yang pertaniannya seakan-akan “maju” lantaran banyak
menggunakan bahan-bahan kimia (misalnya Amerika). Selain itu, petani harus
membayar sejumlah uang yang sangat besar (kalau tidak salah pada tahyn 2013
saja seorang petani mengeluarkan lebih dari 60 juta rupiah untuk sertifikat
yang berlaku 5 tahun, belum termasuk menyediakan akomodasi dan “uang saku” bagi
assessor yang mengobservasi lahan
pertanian miliknya) jika ingin hasil pertaniannya diberi label “organik”.
[4]
Hal ini terungkap di berbagai artikel di internet mengenai ranking perguruan
tinggi. Kebanyakan mengacu pada Webometric.
[5]
Hal ini mungkin perguruan tinggi swasta tersebut mendapat ranking bawah,
sehingga “kurang memikat” dari segi iklan.
[6]
Infrastruktur seperti ini relatif membutuhkan waktu dan sumber daya yang lebih
sedikit ketimbang – misalnya – merekrut dosen baru, memperbaiki kurikulum, dsb.
[7]
Pada 16 April 2009, ITB mengadakan pelatihan bertajuk “Membangun Website PT
Berstandar Webometrics”.
No comments:
Post a Comment