Oleh: Anne Shakka
Sabtu, 11 April 2015
adalah salah satu hari bersejarah di Program Pascasarjana Ilmu Religi dan
Budaya (IRB) Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Hari itu IRB mendapat
kunjungan dari dua orang assesor dari
Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT). Seorang dari Universitas
Hasannudin, Makasar; dan seorang lagi dari Universitas Indonesia Jakarta.
Kunjungan yang menghebohkan seluruh fakultas dari hari Rabu, hari di mana
pemberitahuan akan visitasi tersebut datang.
Tiga hari sejak hari
pemberitahuan itu datang, IRB jadi penuh dengan keriuhan. Semua mahasiswa,
dosen, dan karyawan berbondong-bondong mempersiapkan diri untuk kunjungan
tersebut. Mulai dari memeriksa ulang borang akreditasi yang sudah dibuat pada
bulan November 2014, menata kelas yang akan digunakan untuk pertemuan,
mempersiapkan berkas-berkas administrasi dan bukti-bukti yang dibutuhakan,
sampai mencari hotel dan mobil untuk mobilitas kedua assesor yang akan datang tersebut.
Ketika hari Sabtu
datang, suasana IRB yang biasanya banyak tawa tiba-tiba menjadi terasa begitu
terburu-buru dan tegang. Saya ingat ketika acara pembahasan dilakukan dan
mahasiswa banyak yang menunggu di luar seakan-akan ada orang yang melahirkan di
dalam kelas. Begitu bapak dosen keluar dari kelas rasanya ingin saya tanyai,
“Lelaki atau perempuan, Pak?” Romo dan Mbak-mbak staf yang biasanya bisa diajak
becanda kapan saja tiba-tiba menjadi ‘senggol
bacok’ hari itu.
Hingga akhirnya malam
datang dan evaluasi hari ini berlalu juga. Ada beberapa poin dari evaluasi yang
dengan sengaja saya catat malam itu ketika acara penutupan, yaitu tidak adanya
organisasi alumni, tidak jelasnya visi misi, tidak adanya pemasukan untuk
fakultas selain dari mahasiswa, kurang terlibatnya mahasiswa dalam penelitian
dosen, dan waktu kelulusan.[1]
Berikut akan saya jelaskan lebih lanjut beberapa poin-poin di atas seperti yang
dijelaskan oleh Bapak Assesor.
Pada bagian alumni,
diharapkan adanya suatu organisasi alumni yang jelas dengan struktur
kepengurusan yang jelas. Hal ini diperlukan karena organisasi alumni merupakan
jembatan antara perguruan tinggi dan masyarakat. Dari sini diharapkan akan
dapat dilihat peran dari alumni dalam masyarakat, baik itu peran secara
akademis maupun nonakademis dan terukur secara kuantitatif. Berarti dapat
diukur jumlah perannya. Peran seperti apakah yang bisa dihitung secara
kuantitatif? Hal ini saya pertanyakan karena di siang hari Sabtu tersebut sudah
terdapat perbedaan persepsi antara mahasiswa dengan asessor prihal prestasi.
Begini kesaksian dari
mahasiswa yang mengikuti dialog tersebut:[2]
Bapak
Assesor yang sedang berjalan-jalan di perpustakaan itu bertanya, apakah ada
dari mahasiswa IRB yang berprestasi. Lalu teman-teman mahasiswa menjelaskan
bahwa ada anak IRB yang menjadi kurator di acara Bienalle Yogyakarta, ada yang
berangkat untuk penelitian di Nigeria, ada yang mendapatkan beasiswa untuk
riset di Singapura. Lalu bapak tersebut bertanya lagi, “Bukan yang seperti itu,
ada nggak yang menang lomba begitu, satu saja.”
Begitu cerita dari
beberapa teman yang mengikuti perjalanan dan dialog.
Semua kehebohan yang
saya ceritakan di atas adalah hal-hal yang terjadi demi suatu akreditasi.
Bagaimana suatu universitas berusaha memenuhi standar agar mendapat pengakuan
bahwa fakultasnya itu sesuai standar. Tidak peduli bagaimana budaya fakultas
dan universitas sebelumnya, tidak peduli sumber daya yang dimiliki, pokoknya
harus sesuai standar. Berikut akan saya ulas lebih lanjut mengenai akreditasi
dan standarisasi pada pendidikan tinggi dari sudut pandang Bank Dunia dan
Undang-undang.
Wajah
Pendidikan Tinggi Indonesia
Pendidikan tinggi yang
ada saat ini di Indonesia maupun yang ada di seluruh dunia ini tidak bisa
terlepas dari pengaruh proses globalisasi yang terjadi saat ini. Dunia yang
semakin menyempit karena perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan
transportasi. Saat ini seseorang dapat berkomunikasi dengan orang lain dari
belahan dunia lain hanya dalam hitungan detik, sesuatu yang tidak mungkin
terjadi setengah abad yang lalu. Hanya dalam satu generasi, dunia sudah berubah
dengan begitu cepat dan begitu hebatnya. Dan kita harus menyesuaikan diri
dengan semua perubahan itu, termasuk wajah pendidikan tinggi di seluruh dunia.
Globalisasi dan
integrasi ekonomi yang ada saat ini membuat batasan-batasan seperti batasan
wilayah dan kebangsaan semakin kabur dan bahkan menghilang. Hal ini dapat
terlihat dari meningkatnya tren orang yang berkuliah atau belajar di luar
negeri, ataupun menjadi pekerja di negara asing. Migrasi atau perpindahan ini
memiliki kecenderungan orang-orang dari negara berkembang atau dari negara
dunia ketiga yang mencari pendidikan atau kondisi pekerjaan yang lebih baik di
negara maju atau negara industri di Eropa, Amerika, atau Australia. Sangat sedikit
yang terjadi dengan kecenderungan yang sebaliknya. Tidak banyak pelajar dari
negara maju yang belajar ke negara berkembang, jika ada sebagian besar berupa
kursus singkat kebudayaan. Hal ini berbeda dengan kecenderungan orang belajar
di negara maju untuk mendapatkan pendidikan lanjutan yang baik, biasanya
setingkat master, doktoral atau post-doktoral (Altbach, 2003: 7).
Figure 1. Jumlah pelajar yang bersekolah di luar negeri berdasarkan daerah tujuan pada tahun 2000 dan 2007[3] |
Perubahan dan dinamika
yang ada ini, mau tidak mau menuntut pendidikan tinggi untuk menyesuaikan
dirinya. Pendidikan harus dapat mengejar perkembangan teknologi dan perubahan
yang begitu cepat ini jika dirinya masih mau menjalankan perannya sebagai lembaga
yang “menghasilkan” manusia yang berkualitas, berkualitas sesuai dengan
zamannya tentu saja. Dalam penjelasannya mengenai perubahan pendidikan tinggi
yang ada di dunia saat ini, Altbach menjelaskan ada empat faktor besar yang
berpengaruh mengubah wajah pendidikan dunia saat ini yaitu masifikasi,
privatisasi, akuntabilisat, dan marketisasi (2003: 2).
Perubahan-perubahan
tersebut terjadi tidak terlepas dari perkembangan teknologi dan industri saat
ini. Salah satu faktor yang sangat berpengaruh adalah meningkatnya kebutuhan
tenaga kerja yang berkualifikasi pendidikan tinggi dan semakin menurunnya
permintaan akan tenaga kerja dengan kualifikasi pendidikan yang lebih rendah.
Hal ini kemudian menuntut orang-orang untuk menempuh pendidikan tinggi demi
mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Peningkatan ini juga yang kemudian
menuntut pendidikan tinggi untuk melakukan masifikasi dalam institusinya.
Masifikasi ini juga didorong oleh berbagai program dari Bank Dunia seperti
Millenium Development Goals (MDGs) yang mendorong meningkatnya lulusan
pendidikan tinggi. Bagaimanapun juga, saat ini pendidikan tinggi masih dianggap
sebagai faktor penting dalam menjaga kestabilan ekonomi, politik, dan dianggap
dapat menopang demokrasi dalam suatu negara.
Perkembangan industri
yang ada saat ini kemudian membawa dampaknya pada adanya permintaan akan
akuntabilitas dan standarisasi pada dunia pendidikan. Hal ini juga tidak dapat
dilepaskan dari lembaga-lembaga terkait yang bekerja sama dengan universitas
itu sendiri. Salah satunya universitas membutuhkan lembaga lain baik itu
pemerintah ataupun swasta untuk membantu pembiayaan bagi dirinya. Hal ini
membuat universitas harus memiliki akuntabilitas dan transparansi dalam
pengelolaan lembaganya. Akuntabilitas ini untuk menjamin keterpercayaan lembaga
terkait dengan lembaga lain.
Selain itu, adanya
standarisasi juga dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan akan tenaga kerja yang
berkualitas. Dengan adanya standar yang diakui bersama, perusahaan akan bisa
mengetahui bagaimana kualitas dari lulusan yang akan diterimanya dalam
perusahaan. Standar ini juga dibutuhkan jika seseorang ingin melakukan studi
lanjut di negara lain atau di institusi lain. Adanya standar ini seakan memberi
jaminan bahwa lulusan tersebut mampu untuk bekerja atau melanjutkan
pendidikannya. Hal ini bisa dengan mudah kita lihat pada persyaratan bekerja
atau persyaratan masuk universitas di mana mereka hanya mau menerima lulusan
dari universitas dengan akreditasi tertentu. Lembaga atau perusahaan akan
mempertimbangkan lagi jika orang tersebut berasal dari lembaga yang tidak
terakreditasi.
Standarisasi
Pendidikan Tinggi Indonesia dan Dunia
Dari beberapa sudut
pandang, standarisasi memang bermanfaat untuk menjamin kualitas suatu lembaga
penyelenggara pendidikan tinggi. Standar yang juga diterapkan bagi tenaga
pengajar dan siswa hasil belajar dari lembaga tersebut. Dengan institusi yang
baik sesuai dengan standar yang ditetapkan maka “dianggap” hasil dari institusi
tersebut juga memiliki standar yang baik. Bagaimana cara mengukurnya? Salah
satunya adalah dengan melihat seberapa cepat lulusan dari institusi tersebut
diterima bekerja, lalu bagaimana tanggapan dari pengguna alumni tersebut.[4]
Dari situ “dianggap”—lagi—bahwa seorang yang cepat diterima bekerja dan
disenangi oleh pengguna menjamin lulusan yang berkualitas. Namun sebenarnya,
apakah pendidikan itu sendiri? Apakah hanya sekadar mencetak manusia yang cepat
terserap di dunia kerja dan disukai oleh orang yang mempekerjakannya?
Undang-undang nomor 12
tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi juga mengatur mengenai penjaminan mutu
dari pendidikan tinggi itu sendiri. Pada Bab III undang-undang tersebut
mengatur mengenai penjaminan mutu dalam pendidikan tinggi. Bagian tersebut juga
mengatur mengenai sistem penjaminan mutu, standar pendidikan tinggi,
akreditasi, Pangkalan data pendidikan tinggi, dan menegenai lembaga layanan
pendidikan tinggi.
Dalam pasal tersebut
dijelaskan bahwa penjaminan mutu pada pendidikan tinggi ini digunakan untuk
melihat apakah suatu lembaga pendidikan tinggi itu sesuai dengan standar yang
ditetapkan atau tidak. Pendidikan tinggi yang bermutu adalah pendidikan tinggi
yang mampu mengembangkan potensinya, menghasilkan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang berguna bagi masyarakat (Pasal 52 ayat 1). Sedangkan penjaminan
mutu ini sendiri diadakan untuk menjamin adanya pendidikan bermutu baik yang
bisa diakses oleh masyarakat. Secara lebih mendetail saya akan melihat dari
Borang Akreditasi mengenai indikasi apa saja yang diukur untuk menentukan apah
lembaga penyelenggara pendidikan tersebut berkualitas.
Dalam Borang mengenai
akreditasi, terdapat tujuh standar yang harus dipenuhi oleh suatu lembaga
pendidikan yaitu:
Standar
1: Visi, Misi, Tujuan dan Sasaran, serta Strategi Pencapaian
Standar
2: Tata Pamong, Kepemimpinan, Sistem Pengelolaan, dan Penjaminan Mutu
Standar
3: Mahasiswa dan Lulusan
Standar
4: Sumber Daya Manusia
Standar
5: Kurikulum, Pembelajaran, dan Suasana Akademik
Standar
6: Pembiayaan, Sarana dan Prasarana, serta Sistem Informasi
Standar
7: Penelitian, Pelayanan/Pengabdian kepada Masyarakat, dan Kerjasama
Hal-hal
tersebut yang harus dipenuhi oleh universitas untuk melakukan penjaminan mutu
bagi lembaganya. Proses yang saya alami dalam akreditasi ini sebagian besar
merupakan suatu proses administratif yang sangat merepotkan karena melibatkan
data dalam jumlah yang sangat besar. Proses pemeriksaan yang dilakukan juga
sebatas memeriksa kelengkapan dalam data yang disediakan dan dipamerkan.
Pemeriksaan lain yang dilakukan adalah wawancara kepada dosen, mahasiswa,
alumni, dan pengguna atau orang yang mempekerjakan alumni. Dan dari situ
akreditasi akan ditentukan, sesederhana itu prosesnya. Ada kerja keras di
baliknya dan proses belajar mengajar yang sesungguhnya yang tidak dilihat oleh
Badan Akreditasi. Mungkin karena tidak ada sumber daya yang cukup untuk melihat
hal tersebut, mungkin juga karena kualitas manusia yang sebenarnya juga tidak
dapat diukur begitu saja dengan parameter tertentu.
Di
sisi lain, akreditasi ini malahan mengurangi kualitas dosen dalam mengajar.
Akreditasi dan pekerjaan administrasi yang sangat banyak ini mau tidak mau juga
akan menyita waktu dan pikiran dosen, dan beberapa mahasiswa juga. Lebih lanjut
Altcbah juga menjelaskan bahwa akuntabilitas yang dituntut dari sebuah lembaga
pendidikan ini malah membatasi otonomi dari para akademisi dengan aturan-aturan
yang ketat dan pekerjaan administratif yang sangat banyak ini juga malah
meruntuhkan daya tarik pekerjaan akademis (2003: 2).
Pendidikan
atau Penyingkiran
Tidak bisa dipungkiri
bahwa sedikit banyak pendidikan sudah menjadi suatu komoditas ekonomi, dan
sebagai suatu komoditas maka pendidikan juga dipengaruhi oleh sistem kerja
pasar yaitu permintaan dan pemenuhan kebutuhan akan permintaan tersebut.
Bagaimana menentukan siapa saja siswa yang dapat diterima dalam suatu perguruan
tinggi ketika jumlah pendaftar jauh lebih tinggi dari kapasitas yang mampu
ditampung? Salah satu hal yang bisa menjawab hal tersebut ya dengan dilakukan
standarisasi. Universitas akan menentukan siapa saja yang berhak untuk menempuh
pendidikan di lembaga miliknya berdasarkan standar yang sudah dia tetapkan.
Standar itu bisa berupa kemampuan intelektual, kemampuan ekonomi, agama, suku,
jenis kelamin, apa saja lah yang menjadi nilai atau ideologi yang dianut oleh
universitas. Sekarang tinggal apakah proses standarisasi yang dilakukan itu
adil dan memberikan kesempatan yang sama bagi semua orang.
Standar diterapkan
ketika ada asumsi adanya kemampuan yang sama pada semua pihak untuk dapat
mencapai standar tersebut. Tetapi seperti yang dikatakan oleh Bourdieu dalam
buku tulisan Haryatmoko (2010), bahwa
dalam pendidikan yang dikatakan netral dan setara itu dalam kenyataannya tidak
demikian adanya, para peserta didik tersebut tidak memiliki kesempatan yang
sama. Keberhasilan dalam suatu pendidikan tersbut hanya mengacu pada dua
kriteria, yaitu proses belajar mengajar dan hasilnya yang diukur dari
kompetensi. Sedangkan latar belakang sosial dari peserta pendidikan tersebut
sama sekali tidak diperhitungkan (2010: 174).
Altbach (2003) juga
menjelaskan akan adanya disparitas tersebut dalam sistem pendidikan dunia.
Adanya perbedaan infrastruktur dan sumber daya menjadi masalah yang menghantui
pendidikan dunia saat ini. Perbedaan-perbedaan ini yang coba diatasi oleh
pemerintah dari masing-masing negara dengan bantuan lembaga-lembaga keuangan
dunia. Pertanyaannya sekarang, jika misalnya Indonesia sudah bisa mendapatkan
infrastruktur yang sama dengan yang ada di lembaga pendidikan di barat, apakah
kita juga akan menjadi benar-benar setara dan sesuai standar?
Tampaknya tidak semudah
itu. Dalam penjelasannya mengenai adanya perbedaan mengenai pusat dan daerah,
Altbach mengungkapkan bahwa perbedaan itu tidak hanya mengenai permasalahan
sumber daya yang terbatas di negara-negara berkembang. Ada suatu relasi kekuasaan
yang tidak bisa disangkal terjadi di dunia pendidikan di dunia ini. Utara,
dalam hal ini adalah Amerika dan Eropa Barat, selalu menjadi pusat yang
menentukan standar dari pendidikan di dunia ini. Standar ini juga mencakup
topik-topik apa yang menarik untuk diteliti dan diulas dalam jurnal, sampai
pada standar penulisan ilmiah yang selalu mengacu pada standar yang diterapkan
di negara-negara tersebut. Belum lagi adanya permasalahan bahasa di mana dunia
pendidikan yang didominasi oleh bahasa Inggeris yang secara langsung
mendiskriminsi pada akademisi yang berasal dari negara-negara yang tidak
berbahasa Inggris. Disparitas bahasa ini juga menyulitkan untuk mengakses
sumber pengetahuan, melakukan penulisan, dan mendapatkan pengakuan
internasional (2003: 3-5). Hal ini merupakan standar yang lain lagi.
Dari sini dapat kita
lihat bahwa adanya standar itu di satu sisi untuk menjamin kualitas dari
pendidikan tinggi itu sendiri tetapi di sisi lain, standarisasi yang ada ini
juga merupakan suatu penyingkiran bagi orang-orang atau lembaga yang dianggap
tidak memenuhi standar. Lalu bagaimana dengan yang tidak memenuhi standar
tersebut? Apakah tidak berhak untuk mendapatkan pendidikan dan penghidupan yang
lebih layak? Tampaknya standar ini juga yang menyebabkan adanya praktik jasa
pembuatan skripsi dan jual beli ijazah. Seorang baru akan mendapatkan pekerjaan
atau jabatan dengan posisi tertentu dengan memiliki kualifikasi pendidikan
tertentu. Dan bagi yang ingin mudah, ada lembaga-lembaga yang menyediakan
jasa-jasa tersebut agar para konsumennya bisa mendapatkan posisi atau ijazah
yang dibutuhkan.
Lalu apakah standar itu
benar-benar menjamin kualitas? Rasanya paling mudah kembali pada IRB. IRB
sampai tulisan ini dibuat masih berstatus terakreditasi B dari BAN-PT, dan di luar
sana ada universitas lain dengan akreditasi B juga yang melakukan praktik jasa
pembuatan tugas akhir bagi para mahasiswanya. Dengan kerja keras yang sudah
saya lakukan sebagai mahasiswa di sini rasanya saya tidak bisa menerima begitu
saja adanya penyamaan kualitas lulusan hanya dari angka akreditasi yang
diberikan oleh Badan Akreditasi tersebut.
Pada Undang-undang nomor
12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, pada Bab 1 menyatakan bahwa:
Pendidikan adalah
usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat,
bangsa, dan negara.
Undang-undang dasar
negara Indoensia juga menjamin adanya akses yang sama akan pendidikan bagi
seluruh rakyat Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa. Driyarkara juga
menyatakan bahwa pendidikan adalah bagaimana seseorang memasukan manusia muda
dalam masyarakat di mana dia berada. Pendidikan tidak hanya terkait dengan
apakah seseorang mampu menjadi pekerja yang baik atau tidak nantinya setelah
lulus. Pendidikan tidak hanya dilihat dari apakah seseorang melek gadget atau tidak. Pendidikan selalu
terkait tentang bagaimana pembentukan seorang manusia menjadi manusia yang
seutuhnya. Sayangnya, manusia itu berbeda-beda, baik dalam hal intelektual,
bakat, maupun minat. Ada sebuah idiom yang terkenal, jika kecerdasan itu diukur
dari kemampuan memanjat pohon, maka ikan akan selamanya dianggap bodoh.
Jadi, apakah sebagai
lembaga yang menyadari adanya ketidakberesan dalam sistem standarisasi yang ada
di Indonesia ini pada khususnya, sebagai lembaga yang mengajarkan pendidikan
kritis pada para mahasiswanya, sebagai lembaga yang mengajarkan untuk berdiri
pada kemanusiaan dan membela yang tertindas, apakah lembaga ini mampu
memberikan kesempatan belajar yang memanusiakan bagi para peserta didiknya di
atas gengsi akreditasi? Apakah lembaga ini benar-benar mampu memberikan kepada
kaisar apa yang menjadi milik kaisar tanpa mengorbankan hak peserta didiknya
untuk berkembang dan menjadi manusia yang seutuhnya? Apakah lembaga ini juga
mampu memberikan kesempatan belajar yang sama bagi seluruh siswanya tanpa
memberikan standar yang lain lagi? Yang bagi saya itu hanya akan menjadi double colonization bagi mahasiswa yang
bersangkutan. Saya rasa itu jauh lebih berarti dari pada sekadar huruf yang
nanti akan dikeluarkan oleh BAN-PT.
Daftar
Pustaka
Altbach, P. G.
(2003). The Decline of the Guru. New
York: Palgrave Macmillan
Altbach, P.G.;
Reisberg, L. & Rumbley, L. E. (2009). Trends
in Global Higher Education: Tracking in Academic Revolution (A Report Prepared
for the UNESCO 2009 World Conference on Higher Education). Paris: UNESCO
Haryatmoko. (2010). Dominasi Penuh Muslihat: Akar Kekerasan dan
Diskriminasi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Jones, P. W. (1992).
World Bank Financing of Education:
Lending, Learning and Development. London: Routledge
Borang Akreditasi
Program Pascasarjana Ilmu Religi dan Budaya (tidak dipublikasikan)
Constructing
Knowledge Societies: New Challenges for Tertiary Education. (2002). Washington,
D. C.: The World Bank
Undang-undang nomor
12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi
[1]
Catatan pribadi pada penutupan akreditasi IRB di Ruang Palma, Sabtu, 11 April
2015
[2]
Cerita dan rerasan beberapa teman mahasiswa
yang mengikuti jalan-jalan ke perpustakaan
[3]
Gambar diambil dari Trends in Global Higher Education: Tracking an Academic
Revolution (2009)
[4]
Standar 3, Borang Akreditasi mengenai Mahasiswa dan Lulusan
No comments:
Post a Comment